IMMOBILIZATION

September 14, 2011

IMMOBILISASI

Imobilisasi enzim adalah suatu enzim yang dilekatkan pada suatu bahan yang inert dan tidak larut seperti sodium alginate. Dengan sistem ini, enzim dapat lebih tahan terhadap perubahan kondisi seperti pH atau temperatur. Sistem ini juga membantu enzim berada di tempat tertentu selama berlangsungnya reaksi sehingga memudahkan proses pemisahan dan memungkinkan untuk dipakai lagi di reaksi lain.

Ada beberapa hal yang dapat membariskan (lined up) untuk mempertahankan imobilisasi enzim. Imobilisasi dapat mengendalian perpanjangan reaksi; menyederhanakan proses downstream (karena biokatalis mudah direcover dan digunakan kembali), aliran produk jelas dari biokatalis; operasi kontinyu (atau operasi batch) dan memungkinkan otomatisasi proses serta meminimalkan inhibisi substrat. Seiring dengan ini, immobilisasi mencegah denaturasi oleh otolisis atau pelarut organik, dan dapat membawa thermal, stabilisasi operasional dan penyimpanan, dengan ketentuan bahwa immobilisasi yang cukup.
Pada prosedur imobilisasi, persyaratan sanitasi harus dipertimbangkan. Peningkatan stabilitas termal, memungkinkan untuk operasi reaktor rutin di atas 60 ◦ C meminimalkan risiko pertumbuhan mikroba, maka menyebabkan risiko lebih rendah pertumbuhan bakteri dan kurang persyaratan sanitasi menuntut, karena kurangnya kebutuhan pembersihan reaktor tersebut.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu, mikroenkapsulasi,  dan cross-linking agregat enzim (menghasilkan makromolekul carrier-bebas). Kedepannya, terdapat alternatif untuk ikatan penyebar enzim pada porsi yang besar dari material noncatalitik. Hal ini dapat diperhitungkan sekitar 90% atau lebih dari 99% dari total massa biocatalysts, sehingga membutuhkan waktu yang rendah.

Mikroenkapsulasi, dimana enzim yang terkandung dalam struktur tertentu. Hal ini dapat  berupa jaringan polimer dari polimer organik, sebuah perangkat seperti membran serat berongga atau mikrokapsul suatu. Seluruh proses imobilisasi  dilakukan in-situ. Jaringan polimer terbentuk di enzim. Namun jaringan dapat digunakan ketika inti dan lapisan batas (s) terbuat dari bahan yang berbeda, yaitu, alginat dan poli-L-lysin.

Flavourzyme, (protease jamur / kompleks peptidase) terperangkap dalam alginat kalsium, k-karaginan, gellan, dan fraksi-lebur lemak tinggi lemak susu, secara efektif digunakan dalam pematangan keju. Ini termasuk kekuranagn distribusi enzim, hasil berkurang dan keju berkualitas rendah, sebagian berasal proteolitik yang berlebihan dan kontaminasi whey. Kompleks enzim dilepaskan secara terkendali karena tekanan diterapkan selama dadih keju.
Manik-manik alginat Kalsium juga digunakan untuk melumpuhkan glukosa isomerase dan α-amilase untuk hidrolisis pati untuk whey. Dalam pekerjaan terakhir, penulis mengamati bahwa peningkatan konsentrasi CaCl2 dan natrium alginat untuk 4% dan 3%, masing-masing, kebocoran enzim diminimalkan (satu kelemahan umum hidrogel) sementara memungkinkan untuk aktivitas tinggi dan stabilitas. inulinase alginat-terperangkap juga digunakan untuk hidrolisis sukrosa
Kerja terbaru di aplikasi tertentu telah menggunakan laktase sebagai model enzim dan berfokus pada optimasi dan karakterisasi sistem imobilisasi berbasis liposom. Jika biocatalysts berbasis liposom digunakan dalam proses di bawah terus beroperasi, pemisahan biokatalis harus terintegrasi. Setelah konsumsi, vesikula terganggu dalam perut dengan adanya garam empedu, sehingga degradasi in-situ laktosa. Enzim Koktail yaitu, Flavourzyme, protease bakteri dan Palatase M (persiapan lipase komersial), yang bergerak dalam liposom dan berhasil digunakan untuk mempercepat pematangan keju cheddar.
Penahanan dalam sebuah filtrasi-ultra (UF) membran memungkinkan enzim untuk tampil di lingkungan yang penuh cairan, maka, dengan kehilangan sedikit (jika ada) dari aktivitas katalitik. Namun, membran masih menyajikan batas untuk perpindahan massa keseluruhan substrat / produk dan molekul enzim rentan untuk berinteraksi dengan bahan membran. Fitur ini ditingkatkan bersama dengan sifat hidrofobik membran, maka membran immobilisasi dalam perangkat mungkin memiliki beberapa sifat serap.

Tabel 4: Sebuah karakterisasi umum metode imobilisasi

 

Metode Imobilisasi

Parameter

Covalent

Carrier Binding Ionic

Adsorpsi

CLEAs, CLECs

Mikroencapsulasi

Aktivitas

High

High

Low

Moderate/ high

High

Jarak aplikasi

low

Moderate

Moderate

Low

Moderate/ high

Efisiensi

low

Moderate

High

Moderate

Moderate

Biaya

low

Low

High

Moderate

Low

Preparasi

Mudah

Mudah

Sulit

Moderate

Moderat/sulit

Spesifikasi substrate

Tdk bisa diganti

Tdk bisa diganti

Tdk bisa diganti

Tdk bisa diganti

Tdk bisa diganti

regenerasi

Posible

Posible

imposible

imposible

imposible

Di sisi lain, desorpsi dapat diubah menjadi keuntungan jika dilakukan di bawah secara terkendali, karena memungkinkan mempercepat penghapusan enzim menghabiskan dan penggantian dengan enzim segar. Ikatan Kovalen adalah bentuk terkuat dari enzim menghubungkan ke sebuah dukungan yang solid. Ini melibatkan situs kimia reaktif protein seperti kelompok amino, gugus karboksil, dan residu tirosin fenol, kelompok sulfhidril, atau kelompok imidazol dari histidin. Contohnya meliputi imobilisasi dari α-amilase, glukoamilase ke bagas teroksidasi kering, ke polyglutaraldehydeactivated gelatin, atau ke berpori dari dimetakrilat kopolimer etilena glikol dan metakrilat glisidil melalui bagian karbohidrat enzim.
Dalam hal ini metodologi untuk imobilisasi, sorot harus diberikan kepada pengenalan dari komersial support (yaitu, Eupergit, Sepabeads) dengan kepadatan tinggi gugus epoksida ditujukan lampiran multipoint, biasanya dengan kelompok ε-amino dari lisin. Metodologi ini telah digunakan untuk imobilisasi dari glycosyltransferases siklodekstrin untuk glyoxylagarose mendukung untuk produksi siklodekstrin.

Ikatan Ion ke carrier melibatkan interaksi kelompok negatif atau bermuatan positif dari carrier dengan residu asam amino dibebankan pada molekul enzim. Interaksi ionik mungkin disukai jika kebocoran enzim tidak masalah, karena memungkinkan untuk regenerasi dukungan, tidak seperti immobilisasi dengan mengikat kovalen. Ion-exchanger resin yang mendukung khas untuk ion mengikat; di antara mereka adalah turunan dari polisakarida cross-linked, yaitu, karboksimetil-(CM-) selulosa, CMSepharose, dietilaminoetil-(DEAE-) selulosa, DEAESephadex, aminoethyl kuartener anion tukar-(QAE ) selulosa, QAE-dekstran, QAE-Sephadex.

Molekul enzim dapat dimodifikasi secara kimia atau rekayasa genetika untuk meningkatkan efisiensi imobilisasi. Carrier free macromolekul dimana merupakan reagent bifungsional digunakan untuk cros link enzim aggregates (CLEAs) atau kristal (CLECs). Penggunaan CLEAs lebih disukai karena kompleksitas yang lebih rendah dari proses tersebut. Di antara mereka adalah sebagai berikut:

–  Imobilisasi dari Pectinex Ultra SP-L, persiapan yang komersial yang mengandung enzim pektinase, xilanase, dan kegiatan selulosa. The biokatalis Clea ditampilkan (30%) pada laju reaksi, maksimal sedikit / rasio, tetapi peningkatan yang signifikan dalam stabilitas, ketika aktivitas pektinase dari biokatalis termobilisasi

–  imobilisasi dari laktase untuk hidrolisis laktosa, di mana, di bawah sama operasional kondisi untuk enzim bebas, Clea monosakarida menghasilkan 78% dalam 12 jam dibandingkan dengan 3,9% dari bentuk bebas

– CLEAs glukoamilase, dibentuk oleh baik glutaraldehid atau diimidates, yaitu, dimethylmalonimidate,dimethylsuccinimidate,dimethylglutarimidate menyebabkan biocatalysts dengan stabilitas termal meningkat dibandingkan dengan bentuk bebas (lebih meningkatkan 2 kali

– CLEAs wild type dan dua levansucrases mutan yang diuji untuk oligosakarida/Levan dan untuk sintesis fructosyl-xyloside. Meskipun aktivitas spesifik dari tiga enzim bebas 1,25-sampai 3 kali lipat lebih tinggi daripada CLEAs yang sesuai, ini ditampilkan 40 – untuk aktivitas tertentu 200-kali lipat lebih tinggi daripada-Eupergit setara C-amobil preparat enzim
– CLECs glukosa isomerase, yang ditujukan untuk konversi glukosa menjadi fruktosa untuk produksi sirup fruktosa jagung yang tinggi.

 

Setiap metode untuk imobilisasi enzim memiliki sifat unik. Oleh karena itu, meskipun potensi imobilisasi untuk meningkatkan kinerja dengan meningkatkan aktivitas enzim, stabilitas, atau spesifisitas, tidak ada pendekatan khusus menangani fitur ini yang berbeda secara bersamaan.

TYPIKAL BIOREAKTOR
bioreaktor tidak seharusnya memiliki ukuran di bawah 0,05 mm, untuk menjaga penurunan tekanan dalam batas yang wajar. Meminimalkan resistensi massa-transfer eksternal dengan tingkat aliran ditingkatkan dapat dipertimbangkan, menyebabkan reaktor fluidized-bed. maka, pressure drop rendah, dan dapat memompa biaya.
Bioconversions dengan enzim bebas dilakukan dalam tangki diaduk. Ketika sendiri, mereka dibatasi ke modus batch, tetapi ketika digabungkan ke setup membran dengan cutoff yang sesuai, mereka dapat diintegrasikan dalam suatu proses berkelanjutan, karena enzim ditolak oleh membran. Untuk mengatasi hal ini, reaktor keranjang dikembangkan, tetapi jarang digunakan, mungkin karena resistensi transfer massa terkait.

KESIMPULAN

Hubungan enzim di dalam pangan dan proses pengolahan pangan sangat erat, namun banyak bukti secara jelas dalam suatu penelitian dalam penggunaan senyawa biologis yang lebih efektif dan bermacam-macam. Kegiatan seperti dapat membuat suatu inovasi terhadap peningkatan biokatalisa, dimana lebih stabil ( suhu dan pH), tidak terkait dengan adanya ion logam dan tidak mudah terpengaruh dengan adanya senyawa penghambat.

Integrasi proses enzim dalam makanan dan pakan merupakan pendekatan mapan yang menunjukkan bahwa upaya penelitian berdedikasi secara konsisten dilakukan untuk membuat aplikasi agen biologi lebih efektif. Desain biocatalysts baru, lebih stabil (untuk suhu dan pH), kurang bergantung pada ion logam dan kurang rentan terhadap agen inhibitor dan kondisi lingkungan agresif, ini adalah relevansi khusus untuk aplikasi di sektor pangan dan pakan, untuk memungkinkan peningkatan performa dalam kondisi operasional yang meminimalkan risiko mikroba kontaminasi.
Di samping dengan strategi ini, yang immobilisasi enzim juga merupakan kunci pendukung untuk rendering protein yang cocok untuk aplikasi industri, sementara secara bersamaan memungkinkan peningkatan fitur katalitik mereka. Sekali lagi, dan meskipun perkembangan yang dibuat dalam bidang ini, masih ada kurangnya aturan yang berlaku dalam metode imobilisasi enzim, Semua strategi baik terisolasi atau lebih baik sesuai terintegrasi telah dipraktekkan di pangan, untuk memperbaiki proses yang ada atau untuk menerapkan yang baru, dengan yang terakhir sering dikombinasikan dengan output dari barang baru, hasil dari aktivitas enzimatik.

BENCHMARKING

August 23, 2010

Benchmarking adalah pendekatan yang secara terus menerus mengukur dan membandingkan produk barang dan jasa, dan proses-proses dan praktik-praktiknya terhadap standar ketat yang ditetapkan oleh para pesaing atau mereka yang dianggap unggul dalam bidang tersebut. Dengan melakukan atau melalui benchmarking, suatu organisasi dapat mengetahui telah seberapa jauh mereka dibandingkan dengan yang terbaiknya.

Benchmarking harus melibatkan penelitian dan pemahaman tentang prosedur kerja internal sendiri, kemudian mencari ”praktik terbaik” pada organisasi atau lembaga lain, kemudian mencocokkannya dengan yang telah diidentifikasi dan akhirnya mengadaptasi praktik-praktik itu dalam organisasinya sendiri untuk meningkatkan kinerjanya. Pada dasarnya, benchmarking adalah suatu cara belajar dari orang lain secara sistematis, dan mengubah apa kita kerjakan.

Tiga pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh proses benchmarking adalah:

1. Seberapa baik kondisi kita sekarang? (Evaluasi Diri)

2. Harus menjadi seberapa baik? (Target)

3. Bagaimana cara untuk mencapai yang baik tersebut? (Rencana Tindakan)

Proses Benchmarking

Proses benchmarking biasanya terdiri dari enam langkah yaitu:

1. Menentukan Apa yang Akan Di-benchmark

Hampir segala hal dapat di-benchmark: suatu proses lama yang memerlukan perbaikan; suatu permasalahan yang memerlukan solusi; suatu perancangan proses baru; suatu proses yang upaya-upaya perbaikannya selama ini belum berhasil. Perlu dibentuk suatu Tim Peningkatan Mutu yang akan menyelidiki proses dan permasalahannya. Tim ini akan mendefinisikan proses yang menjadi target, batas-batasnya, operasi-operasi yang dicakup dan urutannya, dan masukan (input) serta keluarannya (output).

2. Menentukan Apa yang Akan Diukur

Ukuran atau standar yang dipilih untuk dilakukan benchmark-nya harus yang paling kritis dan besar kontribusinya terhadap perbaikan dan peningkatan mutu. Tim yang bertugas me-review elemen-elemen dalam proses dalam suatu bagan alir dan melakukan diskusi tentang ukuran dan standar yang menjadi fokus. Contoh-contoh ukuran adalah misalnya durasi waktu penyelesaian, waktu penyelesaian untuk setiap elemen kerja, waktu untuk setiap titik pengambilan keputusan, variasi-variasi waktu, jumlah aliran balik atau pengulangan, dan kemungkinankemungkinan terjadinya kesalahan pada setiap elemennya. Jika memang ada pihak lain (internal dan eksternal) yang berkepentingan terhadap proses ini maka tuntutan atau kebutuhan (requirements) mereka harus dimasukkan atau diakomodasikan dalam tahap ini.

Tim yang bertugas dapat pula melakukan wawancara dengan pihak yang berkepentingan terhadap proses tersebut (dapat pula dipandang sebagai pelanggan) tentang tuntutan dan kebutuhan mereka dan menghubungkan atau mengkaitkan tuntutan tersebut kepada ukuran dan standar kinerja proses. Tim kemudian menentukan ukuran-ukuran atau standar yang paling kritis yang akan secara signifikan meningkatkan mutu proses dan hasilnya. Juga dipilih informasi seperti apa yang diperlukan dalam proses benchmarking ini dari organisasi lain yang menjadi tujuan benchmarking.

3. Menentukan kepada Siapa akan Dilakukan Benchmark

Tim Peningkatan Mutu kemudian menentukan organisasi yang akan menjadi tujuan benchmarking ini. Pertimbangan yang perlu adalah tentunya memilih organisasi lain tersebut yang memang dipandang mempunyai reputasi baik bahkan terbaik dalam kategori ini.

4. Pengumpulan Data/Kunjungan

Tim Peningkatan Mutu mengumpulkan data tentang ukuran dan yang telah dipilih terhadap organisasi yang akan di-benchmark. Pencarian informasi ini dapat dimulai dengan yang telah dipublikasikan: misalkan hasil-hasil studi, survei pasar, survei pelanggan, jurnal, majalah dan lain-lain. Barangkali juga ada lembaga yang menyediakan bank data tentang benchmarking untuk beberapa aspek dan kategori tertentu. Tim dapat juga merancang dan mengirimkan kuesioner kepada lembaga yang akan di-benchmark, baik itu merupakan satu-satunya cara mendapatkan data dan informasi atau sebagai pendahuluan sebelum nantinya dilakukan kunjungan langsung.

Pada saat kunjungan langsung (site visit), tim benchmarking mengamati proses yang menggunakan ukuran dan standar yang berkaitan dengan data internal yang telah diidentifikasi dan dikumpulkan sebelumnya. Tentu akan lebih baik jika ada beberapa obyek atau proses yang dikunjungi sehingga informasi yang didapat akan lebih lengkap. Asumsi yang perlu diketahui adalah bahwa organisasi atau lembaga yang dikunjungi mempunyai keinginan yang sama untuk mendapatkan informasi yang sejenis dari lembaga yang mengunjunginya yaitu adanya keinginan timbal balik untuk saling mem-benchmark.

Para pelaku benchmarking telah dapat menyimpulkan bahwa kunjungan langsung kepada organisasi dengan praktik terbaik dapat menghasilkan pandangan dan pemahaman yang jauh lebih dalam dibandingkan dengan cara-cara pengumpulan data yang manapun. Kunjungan ini memungkinkan kita untuk secara langsung berhubungan dengan “pemilik proses” yaitu orang-orang yang benar-benar menjalankan atau mengelola proses tersebut.

5. Analisis Data

Tim Peningkatan Mutu kemudian membandingkan data yang diperoleh dari proses yang di-benchmark dengan data proses yang dimiliki (internal) untuk menentukan adanya kesenjangan (gap) di antara mereka. Tentu juga perlu membandingkan situasi kualitatif misalnya tentang sistem, prosedur, organisasi, dan sikap. Tim mengindentifikasi mengapa terjadi kesenjangan (perbedaan) dan apa saja yang dapat dipelajari dari situasi ini. Satu hal yang sangat penting adalah menghindari sikap penolakan; jika memang ada perbedaan yang nyata maka kenyataan itu harus dapat diterima dan kemudian disadari bahwa harus ada hal-hal yang diperbaiki.

6. Merumuskan Tujuan dan Rencana Tindakan

Tim Peningkatan Mutu menentukan target perbaikan terhadap proses. Target-target ini harus dapat dicapai dan realistis dalam pengertian waktu, sumber daya, dan kemampuan yang ada saat ini; juga sebaiknya terukur, spesifik, dan didukung oleh manajemen dan orang-orang yang bekerja dalam proses tersebut. Kemudian tim dapat diperluas dengan melibatkan multidisiplin yang akan memecahkan persoalan dan mengembangkan suatu rencana untuk memantapkan tindakan spesifik yang akan diambil, tahapan-tahapan waktunya, dan siapa-siapa yang harus bertanggung jawab.

Hasil ini akan diserahkan kepada para pelaksana penjaminan mutu (executive) untuk kemudian memantau kemajuan dan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang timbul. Ukuran dan standar dievaluasi secara bertahap, barangkali diperlukan penyesuaian-penyesuaian terhadap rencana untuk dapat mengatasi halangan dan persoalan yang muncul. Juga para pelaksana memerlukan umpan balik dari mereka yang berkepentingan terhadap proses dan hasilnya (stakeholders).

Kesenjangan standar mungkin saja tidak dapat dihilangkan karena target organisasi terus saja berkembang dan memperbaiki diri. Yang lebih penting dari semata-mata mengejar kesenjangan adalah menjadikan benchmarking sebagai suatu kebiasaan, yang akan mendorong untuk terus memperbaiki diri. Jika perlu bahkan dapat dibuat atau dibentuk suatu departemen atau divisi tersendiri yang bertanggung jawab melaksanakan benchmarking secara terus menerus (berkelanjutan).

Proses benchmarking ini mempunyai banyak keuntungan. Benchmarking mendorong terciptanya suatu budaya perbaikan terus menerus, menghargai orang lain dan prestasinya dan membangun indera dan intuisi akan pentingnya perbaikan yang dijalankan terus menerus tersebut. Jika suatu jaringan dan kemitraan dalam benchmarking telah terbentuk maka berbagai praktik baik dan terbaik dapat saling dibagi di antara mereka.

Manfaat Benchmarking

• Menciptakan pemahaman yang lebih baik

• Meningkatkan kesadaran akan perubahan kebutuhan pelanggan

• Mendorong inovasi

• Mengembangkan realistis, tujuan peregangan

• Membuat rencana tindakan yang realistis

JENIS BENCHMARKING

Ada tujuh macam benchmarking yang penjelasannya adalah sebagai berikut:

Internal benchmarking memberikan pembandingan antara operasi atau proses yang sejenis dalam korporasi.

Competitive benchmarking memberikan pembandingan antar pesaing untuk produk atau layanan tertentu (spesifik)

Functional benchmarking memberikan pembandingan  untuk fungsi sejenis dengan industri yang sama.

Generic benchmarking memberikan pembandingan proses-proses yang independen pada industri atau fungsi secara keseluruhan.

Process benchmarking memfokuskan pada proses kerja atau sistem operasi tertentu (misal pembayaran, rekruitmen, komplain pelanggan, pengadaan) untuk menghasilkan hasil pada bottom line results, seperti peningkatan produktivitas, mengurangi waktu siklus produk, pengurangan biaya, peningkatan penjualan, mengurangi laju kesalahan produksi, dan peningkatan keuntungan.

Performance benchmarking memfokuskan pada pembandingan produk atau layanan seperti pada harga, kualitas teknis, fitur produk, kecepatan layanan, dan keandalan. Beberapa alat manajemen untuk melakukan ini adalah reverse engineering, pembandingan langsung produk dan layanan, ataupun analisis startistik pada sistem operasi.

Strategic benchmarking digunakan untuk menguji bagaimana korporasi dapat bersaing dan fokus pada indutri tertentu. Sasaran kuncinya adalah mengidentifikasi strategi yang unggul untuk menjadi korporasi yang berhasil.

Bacillaceae Spores, fungi and aflatoxins Determination in Honey

August 23, 2010

Pendahuluan

Honey is Komposisi utama madu adalahmainly composed by sugars, particularly the mono- gula, khususnya monosaccharides fructose and glucose, though it containssakarida,fruktosa dan glukosa, walaupun berisi sebagiana large variety of di-and trisaccharides (White, 1983). besar dari berbagai  trisakarida (White, 1983).

Microbiological characteristics of honey are inherent to quality andCiri-ciri mikrobiologi dari madu sangat melekat pada kualitas dansafety. keselamatan. The microbes of concern in honey are prima- Mikroba yang cukup diperhatikan pada madu yang penting adalah yeast, jamur dan bakteri pembentuk spora. TheseMikroorganisme ini mungkin terlibat dalam proses produksi enzim, antibiotics, mycotoxins and growth factors (vitamins,biotics, mycotoxins dan faktor pertumbuhan (vitamin,amino acids), metabolic conversion of provisions, and asam amino), metabolisme konversi dari ketentuan, daninhibition of competing microorganisms (Goerzen, inhibisi dari persaingan seperti mikroorganisme,dan dapat menyebabkanspoilage of provisions, production of enzymes, anti- kerugian(Goerzen,1991). 1991). Honey has been incriminated as a source of C. Madu telah dididentifikasi sebagai sumber C.botulinum spores responsable for infant botulism cases spora botulinum yang menginap pada bayi dalam kasus infant botulism (Amon et al., 1981).(Amon dkk., 1981). A different clinical form of botu-Secara klinis berbagai bentuk botulism, has been recently recognised in infants under 1lism, baru-baru ini telah ditemukan pada bayi di bawah 1year of age. tahun keatas. In this type of botulism spores of bacteria Dalam jenis ini botulism spora dari bakteriapparently germinate and produce toxin in the intesti- tampaknya mulai tumbuh dan menghasilkan toksin dalam intestinal tract of affected infants (Huttanen et al., 1981).nal yang berpengaruh pada bayi (Huttanen dkk., 1981).Pollen may be the original source of microbes for

Persentase kontaminasiBacillus cereus , and with fungi: yeasts, Mucor sp, Bacillus cereus, dan dengan cendawan: ragi, Mucor sp,Penicillium spp and several species of genus Asper- Penicillium spp dan beberapa spesies dari genus Aspergillus , particularly Asp.gillus, terutama Asp. flavus , Asp. flavus, Asp. candidus, Asp. candidus, Asp.fumigatus and Asp. fumigatus dan Asp. niger . niger. These potentially pathogenic Mikroba ini berpotensi secara patogenikspecies can be harmfull to predisposed patients. dan dapat membahayakan konsumen Di antaramycotoxins, aflatoxins could pose a significant threat mycotoxins, aflatoxins signifikan dapat menimbulkan ancamanto human health because they are toxigenic, carcinoge- kesehatan manusia karena bersifat toxigenic, carcinogenic, mutagenic and teratogenic (Hsieh, 1986), besidesnic, mutagenik dan teratogenic (Hsieh, 1986).

Deteksi C. perfringens spores perfringens spora

For the enumeration of Clostridium perfringens ,            Clostridium perfringens, 1 ml of each decimal dilution was incorporated onto1 ml dari setiap pencairan desimal telah dimasukkan ke Tryptose sulfite cycloserine Agar (TSC) (Oxoid code Tryptose sulfite cycloserine Agar (TSC) setelahthermal treatment at 80 ºC for 10 minutes (ISO, 1995). thermal perawatan di 80 º C selama 10 menit (ISO, 1995), di bawahanaerobic conditions, for 48 h at 45 ºC. kondisi anaerobik, untuk 48 h di 45 º C.

Mycological examination Mycological pemeriksaan

For enumeration and identification at genus levelIdentifikasi di tingkat genusof moulds and yeast, 1 ml of honey of each dilution dari jamur dan ragi, 1 ml madu setiap pencairanwas spread into each of five plates (0.2 ml/plate) of telah menyebar ke setiap lima piring (0,2 ml / plate) dariGlucose Yeast Extract Sucrose Agar (GYES) (King et Glukosa ragi Sucrosa Extract Agar (GYES) (Raja etal ., 1984) and incubated at 28 ºC for 3-5 days. al., 1984) dan incubated di 28 º C selama 3-5 hari. Each Tiap isolated mould colony was observed microscopically koloni mould telah diamati secara mikroskopisfor morphological characterization and identification berdasarkan karakterik morfologi dan identifikasi.

Determination of aflatoxins B1, B2, G1 Penentuan aflatoxins B1, B2, G1and G2 by HPLC dan G2 oleh HPLC

The solvent mixture was water +            Larutan adalah campuran air + methanol (8+2) instead of methanol+water (8+2,v/v).methanol (8 +2). Batas The detection limit was 1µg/kg.deteksi adalah sebesar 1μg/kg. The sample extract Sampel sariwas filtered, diluted and applied in an immunoaffinity telah disaring, diencerkan dan diterapkan dalam sebuah immunoaffinitycolumn containing antibodies specific to aflatoxins kolom yang berisi antibodi spesifik untuk aflatoxinsB1, B2, G1 and G2. B1, B2, G1 dan G2. Standard AFs B1, B2, G1 and Standar AFS B1, B2, G1 danG2 were purchased from Sigma-Aldrich (Ref. A-6636, G2 dibeli dari Sigma-Aldrich (Ref. A-6636,A-9887, A-0138 and A-0263 respectively) (Quimica A-9887, A-0138 dan A-0263 masing-masing) (QuimicaSA Spain). SA Spanyol). The stock solution, working standards andThe recoveries werePemulihan yang telahdone in duplicate, in blank samples of honey (1kg), dilakukan di duplikat, pada sampel madu murni (1kg), spiked with levels of 4.0 mg/kg of AFB1 and AFG1didapatkan pada level 4,0 mg / kg AFB1 dan AFG1,and 2.0 mg/kg of AFB2 and AFG2. dan 2.0 mg / kg AFB2 dan AFG2. The average reco- Rata-rata-emilgiglioveries were 89.5 % for AFB1, 87.0% for AFB2, 88.3 89,5% yang veries untuk AFB1, 87,0% untuk AFB2, 88,3 % for AFG1 and 86.2 % for AFG2. Untuk AFG1% dan 86,2% untuk AFG2. Samples with AFs Sampel dengan AFSlevels below 1 mg/kg were considered negative (infe- tingkat di bawah 1 mg / kg dianggap negatif.

Results Hasil

From the 80 samples, only nine do not revealed any ElevenMartins, HM et al.of the samples (13.8%) were contaminated with sporesDari sampel madu(13,8%) telah terkontaminasi oleh spora of B.dari spesies B. cereus , five (6.2%) of which had levels lower cereus, lima sampel (6,2%) dari tingkat yang lebih rendah than 101022 spora/gram, five samples (6.2%) with levels greater than, Lima sampel (6,2%) dengan tingkat lebih besar sebesar 101033 cfu/g; one sample (1.3%) revealed to be contami-spora/gram; satu sampel (1,3%) yang akan menyebabkan contaminasinated with 10 sebesar 1055 spores/g.spora /gram. Spores of C.

Spora dari C. perfringens were perfringens tidak terdeteksi pada setiap sampel (1 g). Of the 80 samples analysed, 71(88.8%) were conta-Dari 80 sampel analisis, 71 (88,8%) adalah tercontaminated with fungi; of these samples, 46 were conta-minasi dengan mould, 46 orang-terkontaminated with moulds and yeasts, and 25 samples pre-minasi oleh jamur dan ragi, dan 25 sampel terksented only yeasts.ontaminasi oleh  ragi. The moulds identified were: Asp. Jamur yang diidentifikasi adalah: Asp.candidus (28.7%), Asp. candidus (28,7%), Asp. flavus (57.5%), Asp. flavus (57.5%), Asp. fumigatus fumigatus(45.0%), Asp. (45,0%), Asp. niger (51.3%), Mucor sp. niger (51,3%), Mucor sp. (31.3%) and (31.3%) danPenicillium spp. Penicillium spp. (38.8%), with levels ranging from 10 (38,8%), Two yeast species were identified: Candida humi-Dua ragi spesies dikenali: Candida humicola (75.0%) and Saccharomyces sp.cola (75,0%) dan Saccharomyces sp. (88.8%); Its level (88,8%)

.

Discussion Kesimpulan

Huttanem et al. (1981), in 80 honey samples collec-            Huttanem dkk. (1981), dalam 80 sampel maduted from apiaries in Pennsylvania, Illinois and New dilaporkan tidak ditemukan Clostridia spora. In another Di lainstudy, Kautter et al. (1982), in 100 samples of honey studi, Kautter dkk. (1982), di 100 sampel madufound only two samples (2.0 %) contaminated with ditemukan hanya dua sampel (2,0%) tercemar denganClostridium botulinum spores. Clostridium botulinum spora. Dari hasil studiThe present study does not revealed contamination superior to 1 spore/g (limit tidak menunjukkan kontaminasi unggul pada 1 spora / g.Hauschild et al. (1988), state that honey generally Hauschild dkk. (1988), menyatakan bahwa madu umumnyacontains few botulinic spores. berisi beberapa botulinic spora. According to Bonvehi The results of the Hasilpresent study revealed contamination by B. hadir studi menunjukkan kontaminasi oleh B. cereus in cereus di11 samples; one of the samples had a heavy contami- 11 sampel; Potensi toxigenic efeknyaachieved on levels above 10 dicapai pada tingkat di atas 1055spores/g. spora / g.Jiménez et al ., (1994), studying raw honey referred mycoflora dominan termasuk Aspergillus flavus, Asp. flavus, Asp. niger, Asp. niger, Asp. candidus, Asp. candidus, Asp. terreus, Peni- terreus, Penicillium spp., Saccharomyces sp. and Zygosaccharomy- cillium spp., Saccharomyces sp. dan Zygosaccharomyces . ces. This study partially confirms this findings. Spesies yeast yang The yeast species identified ( Candida humicolaidentifikasi adalah Candida humicolaand Saccharomyces sp.) were detected in a very high dan Saccharomyces sp. yang terdeteksi dalam frequency and at high levels of contaminatfrekuensi tinggi dan di tingkat kontaminasi yang tinggi. OThis osmophylic yeast are probably good indicators forsmophylic yeast ini mungkin baik untuk indikatormicrobiological quality of honey. microbiological kualitas madu.There are few informations concerning mycological Ada beberapa informasi tentang mycologicalcontamination and simultaneous co-occurrence of Asp. kontaminasi yang bersamaan terdapat di dalamnya Aspflavus or Asp. flavus atau Asp. parasiticus and aflatoxins detection in parasiticus dan aflatoxinshoney.. Hilldrup et al. (1977), studied fungal growth Dapat disimpulkan bahwamicrobial contamination levels in honey is generally kontaminasi mikrobial di tingkat madu pada umumnyalow. rendah. It is not surprising to find that none of the stains of Asp. Asp. flavus have produced aflatoxins, because the pro- flavus telah menghasilkan aflatoxins, karena production depends not only of the genetic competence ofvaksin tidak hanya tergantung dari genetik kompetensi darithe strains, but is also influenced by a quite wide range strains, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh berbagaiof factors (substrate composition, very low aW , and faktor antara lain komposisi substrat, AW yang rendah,acidity of honey) and ecological conditions. Tingkat keasaman madu dan kondisi ekologi.

Studi ini menyatakan adanya kontaminasi madu oleh Bacillaceaespores ( Clostridium perfringens, Bacillus cereus ), fungi and spora (Clostridium perfringens, Bacillus cereus), dan jamuraflatoxins. aflatoxins. The microflora was determined using conventional Microflora yang telah ditentukan menggunakan konvensionalmicrobiological methods and the aflatoxins were detected by microbiological metode dan aflatoxins yang terdeteksi oleh“high performance liquid chromatography” (HPLC). “Kromatografi cair berperforma tinggi (HPLC)”. Tetapi Spores Sporaof Clostridium perfringens were not detected in any sample. dari Clostridium perfringens tidak terdeteksi di setiap sampel.Bacillus cereus were identified in eleven samples (13.7 %); of Bacillus cereus ditentukan dalam sebelas sampel (13,7%); darithese, five (6.2%) had levels lower than 10 ini, lima sampel (6,2%) memiliki tingkat lebih rendah dari 1022 , five (6.2%) samples, Lima sampel  (6,2%) contained levels ranging from 10 terdapat mulai dari tingkat 1033 – to 101044cfu/g and only one spora/gram dan hanya satu sampel(1.3%) presented contamination above 10 (1,3%) terkontaminasi disajikan di atas 1055 cfu/g.spora/g. Yeasts and Ragi dan moulds were detected in 71 samples (88.8%).jamur yang terdeteksi pada 71 sampel (88,8%). Three genera of Tiga dari spesiesmoulds ( Aspergillus , Penicillium and Mucor ) and two genera of jamur (Aspergillus, Penicillium dan Mucor) dan dua dari spesies yeasts ( Saccharomyces and Candida ) were identified.yeast (Saccharomyces dan Candida) diidentifikasi. The most Persentase yang paling besar dari spesies prevalent among Aspergillus was A. Aspergillus adalah A. flavus (57.5%), followed flavus (57.5%), diikutiby A. oleh A. niger (51.3%), A. niger (51,3%), A. fumigatus (45.0%) and A. fumigatus (45,0%) dan A. candidus candidus(28.7%). Penicillium spp. (28,7%). Dari spesies Penicillium spp. and Mucor sp. dan Mucor sp. Persentase nya sebanyak were present in 38.8 38,8and 31.3 % respectively. Saccharomyces sp. dan 31,3%. Saccharomyces sp. and Candida humi- dan Candida humcola had high incidence (88.8 and 75.0 % respectively).cola memiliki tingkat insiden 88,8 dan 75,0%. None of Tidak satupunsamples revealed to be contaminated with aflatoxins. Sampel terkontaminasi oleh alflatoxins.

Proses Baking Dalam Pembuatan Roti

August 23, 2010

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di kota-kota besar, roti dapat dikatakan hampir dapat menggeser kedudukan nasi sebagai makanan pokok terutama untuk sarapan pagi. Seiring dengan berjalannya waktu, roti tidak lagi dikaitkan dengan sarapan pagi, tetapi sudah meluas sebagai menu makanan alternatif di segala kondisi dan waktu. Roti tidak lagi dinikmati di pagi hari, tetapi juga di siang hari, malam hari, atau sebagai snack di antara dua waktu makan.

Masyarakat Indonesia kini telah mulai banyak yang memanfaatkan roti sebagai alternatif sumber karbohidrat bukan nasi. Peran roti kelak tidak lagi sebatas sebagai menu untuk sarapan, tetapi juga untuk menu makan siang dan makan malam. Oleh karena itu, kandungan gizi roti sangat perlu untuk diperhatikan agar dapat memberikan sumbangan gizi yang berarti bagi manusia.

Di dalam ilmu pangan, roti dikelompokkan dalam produk bakery, bersama dengan cake, donat, biskuit, roll, kraker, dan pie. Di dalam kelompok bakery, roti merupakan produk yang paling pertama dikenal dan paling populer saat ini.

Produk roti adalah produk makanan yang bahan utamanya adalah tepung (kebanyakan tepung terigu) dan dalam pengolahannya melibatkan proses pemanggangan proses.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah

  1. Mengetahui definisi roti
  2. Mempelajari pengolahan dan penanganan dari produk Roti
  3. Mengetahui pengaruh dari proses pemanggangan / baking pada roti terhadap karbohidrat, protein, lemak

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Roti adalah produk makanan yang terbuat dari tepung terigu yang difermentasikan dengan ragi roti ( Saccharomyces cerevisiae ), air dan atau tanpa penambahan makanan lain dan dipanggang.. Kedalam adonan dapat ditambahkan gula, garam, susu atau susu bubuk, lemak, pengemulsi dan bahan-bahan pelezat seperti cokelat, keju, kismis dan lain-lain (wijandi dan illah,2003).

Secara garis besar produk bakeri bisa dikelompokkan menjadi kelompok roti dan kelompok biskuit. Produk roti mempunyai struktur berongga-ronga dan dikembangkan dengan ragi roti dan produk akhirnya bersifat plastis, elastis karena kadar airnya relatif tinggi. Produk biskuit terdiri dari berbagai bentuk dan mempunyai struktur lebih padat dengan tektur mulai dari rapuh atau renyah sampai relatif keras, serta kadar airnya rendah sehingga lebih awet dari pada roti.

Berdasarkan formulasi adonan roti dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu adonan roti manis, roti tawar dan adonan soft rolls. Adonan roti manis adalah adonan yang dibuat dari formulasi yang banyak menggunakan gula, lemak dan telur. Adonan roti tawar adalah adonan roti yang mengunakan sedikit/tanpa gula, susu skim dan lemak. Sedangkan adonan soft roll adalah adonan roti yang dibuat dari formula yang menggunakan gula dan lemak relatif lebih banyak dari adonan roti tawar.

Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan bahan baku dan proses pembuatannya. Jika bahan baku yang digunakan mempunyai kualitas yang baik dan proses pembuatannya benar maka roti yang dihasilkan akan mempunyai kualitas yang baik pula. Jenis dan mutu produk bakeri sangat bervariasi tergantung jenis bahan-bahan dan formulasi yang digunakan dalam pembuatannya.

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan roti dapat digolongkan bahan utama dan bahan pembantu. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan roti adalah tepung terigu, air, ragi roti dan garam. Bahan pembantu adalah bahan-bahan yang menyertai bagian utama dalam pembuatan roti untuk mendapatkan aroma, rasa dan tekstur yang diinginkan. Bahan pembantu ini terdiri dari shortening, bread improver, susu skim, telur, gula, bahan pengisi serta flavoring. Pemberian antioksidan (asam askorbat, bromat ), dan anti kapang seperti kalium propionat dan kalsium pospat ditambahkan untuk memperpanjang keawetan roti.

Faktor yang mempengaruhi volume roti (marliyati, dkk. 1992)

  • Mutu dan jumlah dari bahan – bahan yang dipakai
  • Proses pembuatan
  • Mixing
  • Fermentasi
  • Cara pengerjaan
  • Pan proof
  • Baking

2.2 TEKNIK PROSES PRODUKSI ROTI

Roti merupakan produk yang bersifat tidak stabil, elastis, memiliki solid foam, serta mengandung matriks hasil ikatan silang molekul gluten dan polimer pati. Dalam pembuatan roti, perlakuan fisik dan mekanis selama mixing, reaksi kimia (termasuk reaksi enzimatis), dan pengaruh proses termal (waktu dan suhu pemanggangan) akan mempengaruhi karakter produk akhir yang akan dihasilkan (noer, 2010)

Secara garis besar proses pembuatan roti terdiri dari pencampuran,

pembentukan dan pemanggangan.

2.2.1 Pengadukan

Pencampuran bertujuan untuk pembentukan adonan atau development yang ditandai terbentuknya adonan yang lembut, elastis, ekstensibel dan nampak kering serta tidak lengket. Pencampuran dianggap selesai bila adonan sudah menjadi kalis yaitu lembut, elastis, kering, serta resisten terhadap peregangan (tidak mudah sobek ). Cara pengujian kecukupan pengadukan yang umum dilakukan adalah dengan meregang – regang segumpal adonan membentuk lembaran tipis. Untuk memperoleh efek tersebut, pengaduk harus menekan, meregang dan melipat adonan.

2.2.2 Fermentasi

Tujuan fermentasi adalah untuk proses pematangan adonan, sehingga adonan mudah ditangani dan dapat menghasilkan produk bermutu baik. Selain itu fermentasi berperan dalam pembentukan cita rasa roti. Hal yang terpenting dalam melakukan fermentasi adalah membuat kondisi lingkungan suhu dan kelembapan ideal untuk berkembangnya ragi roti. Baik babon maupun adonan biasanya difermentasi pada suhu 27-30 °C dengan kelembaban 75-80 %.

2.2.3 Pembentukan

Pada prinsipnya, rounding bertujuan untuk menahan gas karbondioksida yang terbentuk selama fermentasi serta memudahkan adonan menyerap udara luar sehingga

adonan dapat mencapai volume yang optimum. Selain itu, rounding juga berfungsi untuk mengurangi kelengketan adonan dan mengurangi penggunaan tepung pada tahap

moulding.

Moulding merupakan proses pembentukan adonan sesuai dengan selera masing – masing yang dapat dilakukan dengan cara menggulung adonan dan merekatkan sisi adonan setelah dilakukan pengisian. Proses moulding secara manual dilakukan di atas meja kerja yang telah ditaburi tepung terigu dengan maksud untuk mencegah lengketnya adonan pada meja proses dan dengan alat menggunakan Dough Moulding.

2.2.4 Pemanggangan

Pemanggangan merupakan proses pematangan adonan menjadi roti yang dapat dicerna oleh tubuh dan menimbulkan aroma yang khas. Pemanggangan merupakan aspek yang kritis dari urutan proses untuk menghasilkan roti yang berkualitas tinggi. Pemanggangan terlalu lama dapat menyebabkan kekerasan dan penampakan yang tidak baik.

Suhu dan waktu yang umum untuk pemanggangan adalah 180 – 200 °C selama 15 – 20 menit. Proses pemanggangan akan menyebabkan volume adonan bertambah dalam waktu 5 – 6 menit pertama dalam oven aktivitas yeast akan berhenti pada suhu 65 °C temperatur adonan. Proses pembakaran roti akan mendenaturasi protein dan terjadi proses gelatinisasi dari kanji, dan untuk menghasilkan remah roti yang kokoh temperatur adonan harus mencapai minimum 77 °C.

2.2.5 Tahap pengemasan

Setelah roti selesai dibuat, maka proses yang selanjutnya, yang tidak kalah penting, yaitu proses pengemasan. Ini terutama dilakukakan terhadap roti yang dikomersialkan, atau dijual ke pasaran. Tentunya hal ini harus memenuhi kriteria kesehatan dan keamanan konsumsi. Adapun syarat bahan kemasan roti adalah sebagai beikut (arthur, 2010) :

  • Permeabel terhadap udara yang sesuai dengan roti
  • tidak beracun dan tidak inert (tidak bereaksi dengan roti).
  • kedap air.
  • Tahan panas.
  • Mudah dikerjakan secara masinal dan harganya relatif murah.

Kemasan yang dipakai untuk membungkus roti biasanya berupa plastik, terutama yang golongan polietilen dan cellophan.

– Setelah roti selesai maka sesegera mungkin langsung dimasukkan ke dalam plastik yang sudah disiapkan seukuran roti yang kita buat

– Dengan bantuan mesin atau manual, mulut plastik dipanaskan sebelum dilekatkan

– Diusahakan roti yang sudah terkemas kedap terhadap udara luar (biasanya bagian dalam kemasan dibuat menggembung, jika kempes berarti ada bagian plastik yang berlubang/bocor)

– Selanjutnya roti dimasukkan ke dalam kotak karton agar terlindung dari banyak radiasi cahaya, air, dan kontak dengan polutan di udara

– Pertahankan aroma serta pertahankan kondisi agar tetap kering

– Plastik diberi label dengan metode yang tepat, jangan sampai kertas label ataupun cat untuk label mempengaruhi roti yang ada dalam kemasan.

2.3 Pengaruh pemanggangan pada produk roti

Hal yang tak kalah penting selain kandungan gizi pada roti, yaitu soal pengolahannya. Ternyata, gizi roti bisa menyusut akibat pengolahan yang tidak tepat. pemanggangan bisa menyebabkan susut zat gizi pada bahan makanan, akibat kerusakan zat gizi tersebut. Kerusakan zat gizi dalam bahan makanan dipanggang, umumnya terkait suhu yang digunakan dan lamanya pemanggangan.

Pada roti, tidak ada susut gizi yang berarti dalam tahap pencampuran adonan, fermentasi, atau pencetakan. Kulit makanan yang dipanggang dapat mencapai suhu lebih dari 100 derajat celcius, tapi kulit hanya merupakan bagian kecil dari bahan makanan tersebut secara keseluruhan. Namun, pemanggangan roti sampai kulitnya berwarna cokelat akan menurunkan kadar tiamin 17 persen-22 persen (anonymous, 1992)

2.3.1 Karbohidrat

Bahan pangan yang dominan kandungan karbohidratnya seperti singkong, ubi jalar, gula pasir, dll. Dalam pengolahan yang melibatkan pemanasan yang tinggi spt pemanggangan, karbohidrat terutama gula akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non enzimatis). Warna karamel ini kadang-kadang justru dikehendaki, tetapi jika dikehendaki karamelisasi yang berlebihan sebaliknya tidak diharapkan .

2.3.2 Protein

Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil.

Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanasakan pada suhu yang moderat (60-90oC) selama satu jam atau kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada kondisi terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada kelarutannya.

Reaksi Maillard Dalam Produk

Pemasakan dirumah-rumah tangga dan pengalengan makanan secara komersil hanya memberi sedikit pengaruh terhadap nilai gizi protein bahan pangan. Akan tetapi proses industri lainnya, yang menyangkut penggunaan panas pada kadar air yang rendah, misalnya selama pengeringan dan pembakaran (roti), serta proses penyimpanan selanjutnya dari produk yang dihasilkan, dapat mengakibatkan penurunan gizi yangcukup besar.

Reaksi Maillard dapat terjadi, misalnya selama produksi pembakaan roti. Kehilangan tersebut terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust), yang mungkin karena terjadinya reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses fermentasi tetapi tidak habis digunakan oleh khamir (dari ragi roti). Meskipun gula-gula nonreduksi (misalnya sukrosa) tidak bereaksi dengan protein pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat menimbulkan reaksi Maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa (muchtadi,astawan. 1992).

2.3.3 Lemak

Dengan proses pemanasan, makanan akan menjadi lebih awet, tekstur, aroma dan rasa lebih baik serta daya cerna meningkat.salah satu komponen gizi yang dipengaruhi oleh prose pemanasan adalah lemak.

Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi yang tidak dipanaskan (dimasak) rata-rata mencapai 17,2 %, sedangkan jika dimasak dengan suhu 60 oC, kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2-13,2% (muchtadi,astawan. 1992).

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2007. Di Balik Sepotong Roti, Alternatif Sarapan Pengganti Nasi & Mi. http://www1.surya.co.id/ akses maret 2010

Arthur, Sutikno. 2009. Cara Pembuatan Roti Manis. http://uns.ac.id

Noer, Hendry. 2010. Mengungkap Fenomena Bread Staling. http://www.foodreview.biz/preview.php?view&id=55813

Maliyati, Sru Anna dkk. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, IPB. Bogor

Muchtadi, Dedy dan Made Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimia Dan Biologi Dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, IPB. Bogor

Wijandi, Soesarsono dan Illah Saillah. 2003. Memproduksi roti. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta

PROSES KRISTALISASI PADA MONOSODIUM GLUTAMAT

August 23, 2010

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penggunaan MSG pada makanan semakin berkembang. MSG sering digunakan pada makanan rendah lemak untuk meningkatkan rasa yang hilang ketika dikurangi atau dihilangkan. Apabila ditambahkan pada makanan, maka akan terbentuk asam glutamat bebas yang ditangkap oleh reseptor khusus diotak dan mempresentasikan rasa dasar makanan yang lebih enak dan lezat, serta gurih.

Monosodium Glutamat (MSG) dibuat dari tetes tebu (Molasses) melalui proses teknologi fermentasi. Bakteri yang banyak digunakan adalah bakteri Brevibacterium lactofermentum. Pertama-tama biakan kultur yang telah diinokulasi dimasukkan kedalam tabung berisi medium prastarter dan diinkubasi selama 16 jam pada suhu 310C. selanjutnya biakan pra-starter diinokulasikan ke dalam tangki starter (Judoamidjojo, 1990).

Dalam proses fermentasi tersebut, bakteri mengubah gula kandungan molasses menjadi asam glutamat melalui siklus kreb. Selanjutnya asam glutamat diproses menjadi monosodium glutamat, dikristalisasi dan dikeringkan hingga menjadi kristal MSG yang berkualitas. Setelah itu dilakukan pengemasan melalui proses yang terkendali sehingga terjamin sampai ke pasar.

I.2 Tujuan

1.         Mengetahui keseluruhan proses produksi monosodium glutamat (MSG).

  1. Mengetahui proses fermentasi tetes tebu (Molasses) pada produksi monosodium glutamat (MSG).

BAB II

PROSES PRODUKSI

II.1 Diagram Air Proses Produksi ( MASUK LAMPIRAN )

II.2 Proses Produksi

II.2.1 Dekalsifikasi

Dekalsifikasi adalah proses penghilangan unsur Kalsium (Ca2+) yang terdapat pada tetes tebu dengan H2SO4 , sehingga menghasilkan Treated Cane Molasses (TCM) sebagai media pertumbuhan pada proses fermentasi. Reaksi pengendapan yang terjadi sebagai berikut :

Ca2+ + H2SO4 CaSO4 + H2O + CO2

H2SO4 juga digunakan mengontrol pH pada titik isoelektrik yaitu sekitar 2,8-3,2 yang dilakukan pada temperatur 50°C selama ±4 jam. Penggunaan asam sulfat yang dibutuhkan jumlahnya sangat dipengaruhi oleh kadar kalsium pada tetes tebu, semakin besar kadar kalsium semakin banyak asam sulfat yang dibutuhkan untuk proses dekalsifikasi.

Proses selanjutnya setelah ditambahkan H2SO4, tetes tebu dialirkan ke tangki sedimentasi dan menggunakan alat sedimentasi (hane thickner), tetes tebu diendapkan selama 4 jam. Tetes tebu yang telah melalui proses dekalsifikasi disebut TCM (Treated Cane Molasses) yang kemudian dialirkan ke dalam tangki TCM dan siap digunakan untuk fermentasi.

II.2.3 Sakarifikasi

Proses sakarifikasi dilakukan untuk mengatasi rendahnya kadar glukosa pada TCM (Treated Cane Molasses), dengan cara sakarifikasi tepung tapioka. Tepung tapioka dihidrolisis dengan menggunakan enzim α-amilase dan enzim glukoamilase menjadi glukosa, yang kemudian ditambahkan pada TCM. Proporsi penambahan antara TCM : tapioka adalah 3:1.

Proses.sakarifikasi diawali dengan melarutkan tepung dengan air dalam dissolution tank, kemudian larutan dipompa ke temporary screen, disaring dengan penyaring sekitar 40 mesh. Hasilnya ditampung pada tangki penampung, kemudian dipompa ke mix pot yang selanjutnya ditambahkan enzim α-amilase. Pada mix pot, pH dan temperatur dikontrol untuk kondisi optimum α-amilase, pada pH 6 dan temperatur pada 90-950C. Hasil hidrolisis  enzim α-amilase adalah glukosa dan dextrin, karena enzim α-amilase hanya dapat menghidrolisis ikatan enzim α-1,4-glikosidik.

Untuk menghidrolisis atau memutus ikatan enzim α-1,6-glikosidik pada dextrin, dilakukan proses lanjutan dengan penambahan enzim glukoamilase. Titik kontrol penambahan enzim glukoamilase adalah pada pH 4,5 dan suhu 55-600C, karena pada pH dan suhu tersebut enzim glukoamilase bekerja optimum. Sehingga dari keseluruhan proses sakarifikasi tepung tapioka dengan penambahan enzim α-amilase dan enzim glukoamilase menghasilkan glukosa.Setelah dihasilkan glukosa, aktivitas enzim dihentikan dengan cara pH larutan diturunkan sampai 2,5, kemudian larutan ini dibawa pada proses fermentasi.

II.2.4 Fermentasi

Proses fermentasi terjadi karena adanya aktivitas bakteri yang menghasilkan asam glutamat. PT. Ajinomoto Indonesia menggunakan spesies bakteri Brevibacterium lactofermentum. Bakteri tersebut digunakan untuk memecah glukosa pada TCM menjadi asam glutamat. Reaksi yang terjadi selama proses fermentasi adalah :

C6H12O6+NH3+3/2O2 B.Lactofermentum C5H9O4N +CO2+3H2O

Pada proses ini juga ditambahkan bahan pembantu fermantasi yaitu amonia (NH3) sebagai sumber N pada media fermentasi dan juga berfungsi sebagai kontrol pH, H2PO4 sebagai sumber phosphat (P) pada media, dan juga ditambahkan antifoam sebagai zat pemecah buih yang dihasilkan pada proses fermentasi. Pada tahap ini juga dilakukan aerasi, yaitu dengan mengalirkan oksigen ke dalam fermentor.

II.2.5 Isolasi

Proses isolasi dilakukan untuk memisahkan produk hasil fermentasi (HB/Hakko Broth).  Dalam tahap isolasi ini terdapat 4 proses, antara lain :

  1. 1. Asidifikasi

Proses asidifikasi juga disebut proses kristalisasi I.  HB (Hakko Broth) dialirkan melalui heat exchanger (HE) untuk menurunkan suhu broth dari 40°C menjadi 25°C ke dalam tangki kristalisasi I. Tangki tersebut dilengkapi agitator untuk menghomogenkan konsentrasi H2SO4 yang ditambahkan.

Pada proses ini ditambahkan H2SO4, dibuat kondisi pH isoelektris, yaitu sekitar 3,2 – 3,4  pada HB sehingga diperoleh konsentrat asam glutamat. Kesetimbangan ion yang terjadi pada kondisi isoelektris menyebabkan menurunnya kelarutan dan terjadi kristalisasi.

  1. 2. Separasi I

Separasi dilakukan dengan alat Super Decanter Centrifuge (SDC). Dimana kristal asam glutamat yang mempunyai berat jenis besar akan mendapat gaya yang lebih besar, sehingga akan terpisah ke tepi. Sedangkan cairannya akan berada ditengah.

Hasil pemisahannya disebut GH (Glutamic Hakko) berupa asam glutamat dan larutan induk GM (Glutamic Mother). Kemudian larutan GM yang masih mengandung sisa asam glutamat, sisa mikroba serta sisa media fermentasi ini dievaporasi dengan Falling Film Evaporator (FFE) dua efek sampai total solid kira-kira 30-40%, setelah dipekatkan cairan ini disebut didinginkan dengan cooling water (CW) dan dipisahkan lagi dengan Super Decanter Sentrifuge (SDC).

  1. 3. Pencucian

Pencucian dilakukan pada kristal  asam glutamat (GH) dengan cara penyemprotan air ke kristal asam glutamat, dan laju air dijaga secara optimal agar menghindari hilangnya kristal asam glutamat. Selanjutnya, larutan tersebut dipisahkan kembali dengan Super Decanter Sentrifuge (SDC) untuk memisahkan kristal GH dari air sisa pencucian (GM). Kemudian pada GM yang masih mengandung asam glutamat dalam jumlah cukup besar dipekatkan dan dievaporasi menggunakan Falling Film Evaporator (FFE) tiga efek.

  1. 4. Pengubahan Kristal

Proses selanjutnya adalah mengubah bentuk kristal α pada GH menjadi kristal β. Tujuan pengubahan ini adalah untuk mengurangi kandungan pengotor (impurities) yang terdapat pada kristal α. Kristal β berbentuk prisma heksagonal pipih dan berukuran lebih kecil dari pada kristal α dan juga kristal β memiliki kestabilan yang jauh lebih tinggi daripada kristal α.

Proses pengubahan kristal ini dilakukan dengan cara pemanasan steam 80°C. Pada kondisi temperatur demikian kristal α akan melarut dan terbentuk kristal β. Kristal yang keluar masih bertemperatur tinggi, oleh karena itu perlu didinginkan sampai 40-50°C dengan cara mengalirkan air pendingin, proses ini terjadi di tangki Transform Crystal Cooling (TCC).

  1. 5. Netralisasi

Tujuan dari netralisasi adalah menstabilkan molekul asam amino yang masih dipengaruhi pH yang asam, dengan cara dinetralkan dengan NaOH 20% hingga mencapai pH 6,7 – 7,2 dan proses ini dilakukan pada temperatur sekitar 90°C. Demikian reaksinya :

C5H9O4N + NaOH                  C5H9O4NNa + H2O

Pada proses ini asam glutamat akan diubah menjadi Monosodium Glutamat cair yang disebut NL (Neutral Liquor), kemudian NL menuju tahap purifikasi.

II.2.6 Purifikasi

Pada tahap purifikasi terdapat 3 proses yang digunakan, yaitu :

  1. 1. Dekolorisasi

Dekolorisasi merupakan proses penghilangan kotoran yang terdapat pada cairan NL, dengan cara penambahan aktif karbon sebesar 2% dari massa cairan pada cairan NL. Dalam tangki dekolorisasi, juga terdapat  control pH untuk menjaga kestabilan pH NL yang masuk ke dalam tangki yaitu dengan menambah NaOH sampai diperoleh pH ±6,3.

Neutral Liquor (NL) yang telah ditambah karbon aktif, hasilnya di lewatkan pada Niagara Filter untuk memisahkan kembali cairan NL yang telah jernih dari karbon aktif yang telah mengikat kotoran-kotoran sisa media fermentasi. Pada proses tersebut diperoleh cairan monosodium glutamat bening atau Filtered Liquor (FL).

  1. 2. Kristalisasi II

Dengan proses secara kontinyu, Filtered Liquor (FL) dialirkan pada Head Exchanger (HE) sehingga terjadi pemanasan hingga mencapai temperatur 60-70°C. Pemanasan tersebut dilakukan secara terus menerus hingga tercapai tingkat kejenuhan tertentu dan mulai terbentuk kristal.

  1. 3. Separasi II

Separasi II atau pemisahan ini dilakukan untuk memisahkan campuran kristal dari Mother Liquor (ML1) menggunakan teknik sentrifugasi. Setelah terpisah dari Mother Liquor (ML1), kristal monosodium glutamat yang masih dalam bentuk kristal basah (wet crystal) dilakukan proses pengeringan.

II.2.7 Pengeringan

Dalam alat pengering, udara panas dihembuskan dengan bantuan blower hingga pada akhirnya kadar air kristal telah mencapai ±2% dari kadar air sebelumnya ±4-6%.

Setelah proses pengeringan selesai, kristal monosodium glutamat didinginkan terlebih dahulu dalam mesin pendingin dengan suhu antara 30-40°C. Sehingga diperoleh kristal MSG yang stabil pada suhu ruang.

Kristal Monosodium Glutamat kering dan telah didinginkan, dilakukan analisa Absorbance Index (AI) untuk mengetahui kualitas atau mutu warna kristal MSG. Nilai Absorbance Index yang dikehendaki PT Ajinomoto adalah <0,3. Untuk kristal yang mempunyai AI <0,3 , dilakukan proses pengayakan.

Pengayakan dilakukan pada 3 ukuran kristal,antara lain:

v      LC (Large Crystal) merupakan kristal MSG yang lolos pada ayakan berukuran 30 mesh

v      RC (Regular Crystal)  merupakan kristal MSG yang lolos pada ayakan berukuran 40 mesh

v      FC (Fine Crystal)  merupakan kristal MSG yang lolos pada ayakan berukuran 100 mesh

II.2.8 Pengemasan

Proses pengemasan produk MSG dilakukan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti pengaturan RH, kelembaban, ukuran kristal, kemurnian, kontaminasi bakteri, bahan-bahan asing (foreign material) dan spesifik volume.

Bahan – bahan material yang dipergunakan sebagai kemasan antara lain  Plastic film (OPP dan PE) Header card, Plastic wrapper dan Carton Box.

LDPE ( Low Density Polyethylene ) yang           berfungsi untuk melindungi warna printing kemasan agar tidak cepat luntur selain itu sebagai media laminasi.

Plastik untuk pewarnaan ( pembubuhan tinta ), selain berfungsi untuk pewarnaan sebagai daya tarik bagi konsumen untuk membeli juga sebagai media komunikasi dan informasi bagi konsumen.

Alumunium Foil, berfungsi sebagai Gas Barrier, yaitu untuk menjaga kelembaban ( Humidity ) agar tidak terjadi caking ( penggumpalan ). Selain itu juga mencegah masuknya O2 karena akan menyebabkan oksidasi dan ketengikan / rancidity.

PP ( Polypropilen ), merupakan jenis plastik pengemas Food Grade, dimana berfungsi untuk melindungi produk agar tidak kontak langsung dengan alumunium foil, selain itu juga sebagai sarana sealing.

II.3. Bahan Baku

A. Bahan Baku Utama

Bahan baku utama yang digunakan adalah tetes tebu (cane molasses) yang merupakan produk samping dari industri gula. Setiap 3,22 ton tetes tebu (dengan kandungan gula sebesar 50%) dapat menghasilkan monosodium glutamat sebanyak 1 ton. Standar kadar gula tetes tebu yang digunakan pada proses fermentasi berkisar 50-60%.

B. Bahan Pembantu

Selain tetes tebu, bahan pembantu juga sangat penting dalam proses produksi MSG antara lain sebagai berikut ini:

1.Asam sulfat (H2SO4)

Asam sulfat digunakan untuk proses pemisahan kadar kalsium dari tetes tebu dan juga digunakan pada proses kristalisasi pertama untuk menurunkan pH larutan dari cairan hasil fermentasi (broth). Asam sulfat ditampung dalam tangki penampungan yang terbuat dari carbon steel.

2. Natrium Hidroksida (NaOH)

NaOH 20% digunakan menetralkan asam glutamat pada proses pencucucian atau netralisasi sehingga dapat terbentuk monosodium glutamat (MSG). Larutan asam glutamat yang masih memiliki pH 3 dinetralkan dengan larutan NaOH 20% hingga mencapai pH sekitar 6,7 – 7,2 dalam tangki netralisasi.

3. Amoniak (NH3)

Amoniak digunakan sebagai sumber nitrogen bagi Brevibacterium lactofermentum pada proses fermentasi. Amoniak yang di simpan dalam carbon steel diatur secara otamatis selama fermentasi.

4. Karbon Aktif (AC = Active Carbon)

Karbon aktif digunakan pada proses dekolorisasi yaitu penyerapan warna coklat kehitaman dari MSG cair. Karbon aktif berbentuk serbuk yang penggunaanya langsung dicampurkan pada MSG cair yang masih berwarna coklat.

5. Anti Buih ( Defoamer )

Adanya buih selama proses fermentasi akibat agitasi dan aerasi akan menyebabkan autolisis dan mengurangi jumlah sel bakteri, serta menaikan beban agitasi. Anti buih (AZ) yang digunakan memiliki pH relatif rendah yaitu ± 3,3.

6. Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral yang ditambahkan pada medium fermentasi antara lain biotin, vitamin B1, KH2PO4, MnSO4, dan FeSO4.

7. Tepung Tapioka

Tapioka ditambahkan dalam tetes dengan melalui proses sakarifikasi terlebih dahulu apabila kadar glukosa tetes tebu terlalu rendah.

8. Enzim

Enzim digunakan untuk proses sakarifikasi tapioka. Enzim yang digunakan adalah α-amilase dan glukoamilase.

9.  Raw Sugar

Raw sugar digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri Brevibacterium lactofermentum , tetapi penggunaanya biasanya relatif sedikit karena raw sugar ini digunakan hanya untuk menambah kadar glukosa atau jika bahan baku tetes berada dalam jumlah yang kurang.

10.  Aronvis

Aronvis merupakan suatu zat yang berfungsi sebagai koagulan pada proses sedimentasi kalsium yang merupakan hasil samping pada proses dekalsifikasi.

11. Beet Molases

Beet Molases ini sebenarnya juga mempunyai fungsi yang sama seperti Cane Molase ( tetes ) yaitu sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri Brevibacterium lactofermentum, dan penggunaannya pun juga hanya relatif sedikit. Hal ini karena kualitas dari Beet Molases lebih baik daripada Cane Molases dimana kadar glukosa yang terkandung dalam Beet Molases lebih tinggi. Selain itu harga beli dari Beet Molases ini juga lebih mahal karena jenis ini hanya dapat ditemukan di negara empat musim.

12. Urea

Urea merupakan bahan substituen ( bahan pengganti ) dari NH3, tetapi penggunaannya terbatas, yaitu berfungsi sebagai pengatur pH pada proses fermentasi dan sebagai sumber Nitrogen.

13. Air

Ada beberapa jenis air yang digunakan dalam industri pembuatan MSG, antara lain :

%1.            Pure Water (PW) : merupakan air murni (H2O)

%1.            Industrial Water (IW) : Merupakan H2O yang mengandung mineral. Biasanya untuk kebutuhan Toilet.

%1.           Mix Water (MW) : Terdiri dari 80% PW dan 20% IW. Air inilah yang digunakan dalam proses pembuatan MSG.

%1.           Chilled Water (CW) : Terbagi menjadi dua macam yaitu dengan suhu 10oC dan suhu 15oC. Air ini merupakan air MW yang didinginkan.

%1.           Cooling Tower Water (CTW) : Berasal dari air MW yang suhunya dikontrol ≤ 30oC.

%1.           River Water (RW) : Air yang masih banyak mengandung kontaminan dan mineral.

BAB III

KESIMPULAN

III.1 Kesimpulan

Indonesia merupakan negara industri yang bergerak dibidang teknologi pertanian, salah satunya dalam bidang bioteknologi, dalam proses produksi Monosodium Glutamat (MSG). Pada proses produksi digunakan bahan baku tetes tebu (molasses) dan beberapa bahan pembantu seperti asam sulfat, natrium hidroksida, amonia, karbon aktif, anti buih, mineral dan vitamin.

Tahap pertama sebelum proses produksi berlangsung adalah dilakukan sterilisasi fermentor dan media fermentasi yang didalamnya antara lain Treated Cane Molasses, nutrient dan udara. Selanjutnya adalah tahap penyiapan inokulum bakteri yang meliputi adaptasi (refreshing), pembenihan awal (preseed), dan pembenihan (seed)

Pada tahapan proses produksi MSG dilakukan beberapa proses yaitu dekalsifikasi, sakarifikasi, fermentasi, isolasi dan purifikasi serta pengemasan untuk dipasarkan. Namun dari semua tahapan itu, yang paling utama adalah proses fermentasi asam glutamate oleh Brevibacterium lactofermentum.

Proses fermentasi asam glutamate terjadimelalui siklus kreb dengan adanya pembelokan enzimatis dari senyawa antara α-ketoglutarat dengan penambahan NH3 cair. Factor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah DO (Dissolve Oxygen), suhu, pH, kecepatan agitasi dan aerasi.

DAFTAR PUSTAKA

El-Mansi, M and Bryce, C.1999.  Fermentation Microbiology and Biotechnologi. Taylor & Francis Group : UK

Fryer, D.L and Rielly, C.D. 1997. Chemical Engineering for The Food Industry. Hartnolls Ltd, Bodmin: Connmall

Judoamidjojo, M., Darwis, A.A. dan Sa’id, E.G.1990.Teknologi Fermentasi.Pau-Bioteknologi IPB.Rajawali Press: Jakarta

Kishimoto, M., Moo-Young, M. and Allsop, P. 1991. A Fuzzy Expert System for The Optimization of Glutamic Acid Production. Bioproc : England

Kojima, M.1988.Bioproses Dalam Industri Pangan : Amino Acid Production with Special Reference to Glutamic Acid Fermentation.PAU Pangan dan Gizi UGM.Penerbit Liberty: Yogyakarta

Kristiansen. 1997.  Teknologi Enzim. PAU Pangan dan Gizi, UGM : Yogyakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan: Jakarta

Suharto.1995. Bioteknologi Dalam Dunia Industri. Penerbit Andi Offset : Yogyakarta

Winarno, F.G. 1990. Teknologi Fermentasi. Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas bersama Antar Universitas, PAU Pangan dan Gizi UGM : Yogyakarta

PENGARUH SIFAT TEGANGAN ANTARMUKA TERHADAP KARAKTERISTIK TEKSTUR ES KRIM

August 23, 2010

Tegangan permukaan adalah gaya persatuan panjang yang harus diberikan sejajar pada permukaan untuk mengimbangi tarikan ke dalam dan terjadi pada semua bahan. Sedangkan tegangan antarmuka adalah gaya persatuan panjang yang terdapat pada antarmuka dua cairan yang tidak saling bercampur. Tegangan antarmuka terjadi karena gaya adhesi lebih kecil daripada gaya kohesi.

Adhesi adalah fenomena fisik  yang disebabkan oleh 2 bahan yang saling melekat dan hal yang sangat diperhatikan pada industri es. Hal ini sebagai parameter penentuan kualitas es krim. Menurut Young`S teori, kekuatan adhesi antar permukaan tergantung pada gaya tegangan antar muka di dalam kontak. Emulsifiers dan stabilizer bisa mempengaruhi tegangan permukaan es krim. Mekanisme adhesi adalah berasal dari thermodinamika, mekanika dan ilmu kimia. Rumus perhitungan tegangan muka suatu cairan murni :

(G / A) p, t, n

keterangan :

G       : Gibbs’ (Energi Bebas sistem)

A       : area

p        : tekanan

t         : temperatur

n        : m total unsur dalam sistem (Du Nouy)

Perumusan tersebut menentukan struktur es krim dan mempengaruhi kekayaan adhesi dan fisiknya untuk mencapai suatu emulsi stabil atau busa. Droplets atau globula baru harus dilindungi dari penyatuan kembali. Unsur aktif emulsifiers mengambil bagian pembentukan struktur es krim yang mengubah kekayaan permukaan komponen emulsi. Emulsifiers menurunkan tegangan interface lemak dan air di dalam campuran, sehingga menghasilkan penggantian/jarak protein dari permukaan globula lemak.

Emulsifier bersifat amfifil (mempunyai bagian lipofil dan hidrofil) dan dapat membentuk lapisan monomolekuler. Emulsifier dapat mengurangi stabilitas globula lemak untuk destabilisasi yang terjadi saat pengocokan dan proses pembekuan, menuju ke pembentukan suatu struktur lemak di dalam produk yang dibekukan sehingga terbentuk tekstur yang baik dan mencairkan kandungan bahannya. Contoh emulsifier pada es krim adalah Mono-Diglycerides dan polysorbates. Penambahan emulsifier dapat menyebabkan tegangan antarmuka turun, fase terdispersi dan fase kontinyu bercampur sehingga terbentuk suatu emulsi. Permukaan aktif material seperti Polysorbate80 dapat menurunkan tegangan permukaan campuran.

Stabilizer adalah surface active, mereka dapat mempengaruhi viskositas, tegangan permukaan dan elastisitas yang dianggap sebagai fenomena  permukaan. Stabilizer merupakan suatu sistem penstabil emulsi yang pada umumnya bersifat hidrofilik, tidak dapat menurunkan tegangan, antarmuka (g) dan dapat membentuk lapisan multimolekuler. Contoh stabilizer antara lain gum, pektin, dan gelatin.

Dapat disimpulkan bahwa gaya adhesi berkurang dengan berkurangnya tegangan permukaan. Formulasi dari Emulsifiers dan stabilizer mempengaruhi gaya adhesi hingga mengubah tegangan Permukaan. Emulsifiers dan stabilizer mempunyai efek yang berbeda terhadap tegangan permukaan. Konsentrasi Tween80 yang tinggi dapat mengurangi tegangan permukaan lebih baik dari stabilizer. Sampel dengan perbandingan Tween80 dan mono-diglycerids sebesar 20:80 mempunyai kekuatan adhesi yang terbesar. Pengukuran tegangan permukaan bisa menjadi suatu indeks untuk menentukan kekuatan adhesi es krim dimana merupakan suatu faktor penting untuk menentukan mutu es krim. Es krim yang memiliki mutu baik ditandai dengan terbentuknya emulsi antar komponen penyusun terutama interface lemak dan air. Dengan kata lain, tegangan antarmuka es krim menurun sehingga emulsi terbentuk.

KEMUNGKINAN PENGGUNAN EDIBLE FILM DARI PATI TAPIOKA UNTUK PENGEMAS LEMPUK

August 23, 2010

Edible film adalah suatu tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan.

Komponen penyusun edible packaging mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan.komponen utama penyusun edible film dikelompokan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Hidrokoloid banyak diperoleh dari proteun utuh, selulosa dan turunnya alginate,pectin dan pati. Dari kelompok lipida yang sering digunakan adalah lilin asilgliserol dan asam lemak. Komposit adalah bahan yang didasarkan pada campuran hidrokoloid dan lipida.

Pada penelitian ini memiliki tujuan untuk menguasai trknik pembuatan edible film dari pati tapioca, menentukan karakteristik edible film terbauk yang dihasilkan, serta mengaplikasikan edible film tersebut untuk mengemas produk pangan dan menentukan umur simpannya.

Pengujian Ketahanan Edible Film

Edible film di uji ketahanannya terhadap pengaruh kelembaban udara lngkungan (RH). Percobaan satu faktor , dengan rancangan dasar RAKL. Perlakuan terdiri atas 65,75,85, dan 95 % RH pada suatu ruang. Pengujian dilakukan pada pengamatan awal dan akhir penyimpanan. Pengamatam yang dilakukan terhdap karakteristik edible film yang meliputi : Aw, metode Aw meter  dan kuat tarik film. Kondisi RH lingkungan penyimpanan terbaik, kemudian digunakan untuk aplikasi penyimpanan tahap berikutnya.

Sifat Fisiko Kimia Pati Tapioka

Sifat Fisiko Kimia                                   Pati Tapioka

1. Kadar air (%)                                  11,54

2. Kadar Pati (%)                                51,36

3. Kadar Amilosa (%)                                    17,41

4. Kadar Amilopektin (%)                  82,13

5. Bentuk Granula                              oval

6. Ukuran Granula (µm)                     5-35

7. Suhu Gelatinisasi (ºC)                    52-64

Dari hasil pengamatan di dapatkan kadar air pati tapioka yang digunakan adalah 11,54%. Kadar air tersebut merupakan kadar air yang aman selama penyimpanan. Sedangkan pati tapioka adalah 51,36% dengan kadar amilosa 17,41 % dan amilopektin 82,13 %. Jadi rasio kadar amilosa dan amilopektinnya adalah 17,41: 82,13. Berdasarkan hasil pemotretan mwnggunakn mikroskop polarisasi terlihat bahwa granula pati tapioka berbentuk mangkuk dan biasanya kelihatan suatu hilum yang jelas, dengan ukuran granula berkisar antara 5 – 35 µm atau rata – rata 17 µm. Sesuai dengan yang dikemukakan, bahwa ukuran dan bentuk dari granula pati merupakan sifat khas yang khusus dari suatu jenis pati. Bentuk dari granula pati ini akan mempengaruhi sifat gelatinasi dari pati, yaitu berkisar antara 52-64 ºC.

Karakteristik edible film yang dihasilkan sudah cukup bagus bila dibandingkan dengan beberapa hasil penilitian yang telah di publikasikan. Namun laju transmisi terhadap uap air yang masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh bahan baku yang digunakan termasuk kelompok hidrokoloid yang memang bersifat higroskopis. Pada umumnya film dari hidrokoloid mempunyai stuktur mekanis yang cukup bagus, namun kurang bagus terhadap penghambatan uap air.

Sifat Fisiko Kimia Edible Film dari pati Tapioka

Karakteristik Edible Film                                    Nilai

1. Aw                                                             0,456

2. Derajat kejernihan(%)                                67,73

3. Ketebalan film (mm)                                             0,120

4. Kuat tarik ( Kgf m -2-)                                6,97

5. Persen elongasi (%)                                                72,9

6. Permeabilitas terhadap O2                         0,32

7. Permeabilitas terhadap CO2                                  0,17

8. Laju transmisi terhadap uap air                  8,79

Edible film yang dihasilkan di uji kekuatannya terhadap variasi kelembaban nisbi dan secara kontinyu di evaluasi sampai diperoleh film yang terbaik.

Sifat organoleptik

Hasil pengamatan organoleptik menunjukkan bahwa panelis cukup menyukai edible film yang dihasilkan, yaitu dengan skor berkisar dari 5,9-6,4 dengan rata – rata 6,2 (menarik). Hal ini menunjukkan bahwa edible film dari pati tapioka ini dapat diterima.

Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa penggunaan edible film pada pengemasan produk pangan dapat memperpanjang umur simpan.Hal ini disebabkan karena kemasan sekunder ( edible film ) mampu memberikan perlindungan terhadap pengaruh kontaminasi mikroba dari luar serta pengaruh langsung kelembaban udara.

BUMBU SEBAGAI ANTIMIKROBA

August 23, 2010

PENDAHULUAN

Produk pangan harus tetap dijaga kualitasnya selama penyimpanan dan distribusi, karena pada tahap ini produk pangan sangat rentan terhadap terjadinya rekontaminasi, terutama dari mikroba patogen yang berbahaya bagi tubuh dan mikroba perusak yang dapat menyebabkan kerusakan pada makanan.

Salah satu cara untuk menjaga kualitas pangan adalah dengan menambahkan bahan aditif berupa zat antimikroba dalam bentuk rempahrempah. Rempah-rempah merupakan bahan tambahan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan banyak digunakan sebagai bumbu dalam makanan tradisional. Rempah-rempah adalah tanaman atau bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering.

Rempah-rempah yang digunakan dalam kegiatan pengolahan makanan sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan tetapi pada konsentrasi tersebut rempah-rempah dapat membantu bahan-bahan lain yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba pada makanan. Efek penghambatan pertumbuhan mikroba oleh suatu jenis rempah-rempah bersifat khas. Setiap jenis senyawa antimikroba mempunyai kemampuan penghambatan yang khas untuk satu jenis mikroba tertentu Beberapa jenis rempah-rempah yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat adalah bawang merah (Johnson dan Vaughn, 1969), Bawang putih (Thomas, 1984), cabe merah (Dewanti, 1984), jahe (Jenie et al, 1992), kunyit (Suwanto, 1983) dan Lengkuas (Rahayu, 1999) (Rahayu, 2000). Ekstrak bawang merah mempunyai efek bakterisidal terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae. Bubuk jahe mempunyai efek bakterisidal terhadap Micrococcus varians, Leuconostoc sp., dan Bacillus subtilis, serta bersifat bakteristatik terhadap Pseudomonas sp. dan Enterobacter aerogenes. Ekstrak bawang putih mentah juga mempunyai aktivitas antimikroba terhadap Escherichia coli, Staphylococcus sp, Proteus vulgaris, Bacillus subtilis, Serratia marcescens, dan Shigella dysentriae (Astawan, 2010).

  1. 1. LENGKUAS

LENGKUAS (Lenguas galanga atau Alpinia galanga) sering digunakan oleh para ibu di dapur sebagai penyedap masakan. Selain itu lengkuas ternyata juga punya peran dalam memperpanjang umur simpan atau mengawetkan makanan karena aktivitas mikroba pembusuk. Pendeknya, lengkuas dapat berperan sebagai pengganti fungsi seperti formalin.

Antimikroba

Peran lengkuas sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari kemampuan lengkuas yang memiliki aktivitas antimikroba. Antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas mikroba, khususnya mikroba perusak dan pembusuk makanan. Zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), ataupun germisidal (menghambat germinasi spora bakteri).

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar komponen di dalam rempah-rempah bersifat sebagai antimikroba, sehingga dapat mengawetkan makanan. Komponen rempah-rempah yang mempunyai aktivitas antimikroba terutama adalah bagian minyak atsiri. Senyawa kimia yang terdapat pada lengkuas antara lain mengandung minyak atsiri, minyak terbang, eugenol, seskuiterpen, pinen, metil sinamat, kaemferida, galangan, galangol, dan kristal kuning. Minyak atsiri yang dikandungnya antara lain galangol, galangin, alpinen, kamfer, dan methyl-cinnamate.

Minyak atsiri memiliki aktivitas sebagai antijamur dan antibakteri (Elistina, 2005). Minyak atsiri pada umumnya dibagi menjadi dua komponen yaitu golongan hidrokarbon dan hidrokarbon teroksigenasi (Robinson, 1991 dalam Soetarno, 1990). Menurut Heyne (1987), senyawa-senyawa turunan hidrokarbon teroksigenasi (fenol) memiliki daya anti bakteri yang kuat.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB yang dimotori oleh Winiati Pudji Rahayu misalnya telah membuktikan bahwa lengkuas merah yang muda memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi, yaitu dengan daya hambat rata-rata 38,3 persen. Lengkuas ini mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan perusak pada pangan khususnya terhadap Bacillus cereus. Penelitian yang dilakukan terhadap ikan kembung terbukti dapat memperpanjang masa simpan ikan kembung pada suhu 40 oC dari 5 hari menjadi 7 hari dengan menggunakan bubuk lengkuas 2,5 persen yang dikombinasikan dengan garam 5 persen.

Penelitian ini telah berhasil menemukan sebuah pengawet alami untuk membuat makanan tetap segar dan tahan lama. Pemanfaatan lengkuas diharapkan mampu memperpanjang masa simpan bahan pangan dan minuman tanpa mengurangi kualitas dan lebih penting tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Pengawet alami ini jelas lebih murah dan mudah didapat di sekitar kita ( Anonymous a, 2010).

Hasil Penelitian lainnya (Pamungkas dkk, 2009) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara ikan kembung A yang dilumuri dengan pati lengkuas dengan ikan kembung B yang tidak diberi perlakuan. Hal tersebut dikarenakan pada pati rimpang lengkuas mengandung senyawa antimikroba berupa minyak atsiri dan senyawa fenol. Mekanisme kerja antimikroba antara lain dengan jalan merusak dinding sel, merusak membran sitoplasma, mendenaturasi protein sel dan menghambat kerja enzim dalam sel. Kandungan tanin dan terpenoid dalam rimpang lengkuas juga dapat menjaga kulitas serta menambah cita rasa gurih bahan yang diawetkan.

Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran akan mengalami lisis. Seperti senyawa antimikroba lainnya, mekanisme kerja fenol adalah menghambat pertumbuhan dan metabolisme bakteri dengan cara merusak membran sitoplasma dan mendenaturasi protein sel. Sehingga senyawa tersebut dapat bersifak bakterisidal atau bakteriostatis, bergantung dosis yang digunakan (Parwata dan F.Feny,2008).

Menurut Corn dan Stumpf (1976) dalam Pudjiarti (2000) menyatakan bahwa fenol merupakan suatu alkohol yang bersifat asam lemah sehingga disebut juga asam karbolat. Sebagai asam lemah senyawa-senyawa fenolik juga dapat terionisasi melepaskan ion Hˉ dan meninggalkan gugus sisanya yang bermuatan negatif. Kondisi yang bermuatan negatif ini akan ditolak oleh dinding sel bakteri garam positifyang secara alami juga bermuatan negatif. Kondisi yang asam pada senyawa tersebut menyebabkan fenol dapat bekerja menghambat pertumbuhan bakteri.

  1. 2. Bawang Putih

Berdasarkan uji fitokimia tersebut, diketahui bahwa seluruh bentuk ekstrak bawang putih tidak mengandung flavonoid. Akan tetapi seluruh ekstrak mengandung tannin, alkaloid, dan saponin.Sejak tahun 1858, Louis Pasteur telah menyatakan bahwa bawang putih mempunyai sifat antibakteri (Anonymous, 2004).

Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri, bawang putih juga bersifat antijamur. Kemampuan bawang putih ini berasal dari zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah Allicin. Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai pertumbuhan jamur dan bakteri (Anonymous, 2004).

Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri, bawang putih juga bersifat antijamur. Kemampuan bawang putih ini berasal dari zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah Allicin. Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai pertumbuhan jamur dan bakteri (Anonymous, 2004).

Alkaloid dari ekstrak bawang putih mengandung racun yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri atau dapat menyebabkan sel bakteri menjadi lisis bila terpapar oleh zat tersebut. Selanjutnya tannin yang juga terkandung dalam ekstrak akan mengganggu sel bakteri dalam penyerapan protein oleh cairan sel. Hal ini dapat terjadi karena tannin menghambat proteolitik yang berperan menguraikan protein menjadi asam amino (Harborne, 1996).

ekstrak air bawang putih dan ekstrak murni bawang putih yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 75% menunjukkan pembentukan diameter hambat terbesar terhadap Streptococcus yaitu masing-masing sebesar 28,25 mm dan 28,5 mm serta terhadap Clostridium yaitu masing-masing sebesar 27.5 mm dan 27.75 mm. Pada bakteri uji lain, ekstrak bawang putih dengan pelarut air dan ekstrak air bawang putih hanya memberikan pada semua tingkat konsentrasi hanya memberikan ukuran antara 6,5 mm hingga 9.75 mm.

Ektrak murni bawang putih dengan pelarut etanol dan ekstrak etanol bawang putih pada konsentrasi 75 % ternyata menunjukkan diameter hambat yang terbesar pada Clostridium yaitu masing-masing sebesar 27.5 mm dan 23 mm. Pada Streptococcus, kedua jenis ekstrak ini juga masih memberikan diameter hambat yang cukup besar yaitu sebesar masing-masing 19.5 mm. Ekstrak bawang putih dengan pelarut etanol pada konsentrasi 75 % ternyata berpengaruh juga terhadap Pleisomonas, yaitu memberikan diameter hambat sebesar 22,25 mm.

  1. 3. cengkeh

Dalam industri makanan cengkeh digunakan dalam bentuk bubuk atau produk hasil ekstraksi dari bunga cengkeh seperti minyak cengkeh atau oleoresin. Cengkeh digunakan untuk keperluan sehari – hari di rumah tangga sebagai penambah rasa dan aroma khususnya untuk memasak, dan juga dalam industri makanan dan minuman. Penggunaannya biasanya dalam bentuk bubuk, tetapi ada juga penggunaan dalam bentuk utuh seperti untuk pembuatan pikel atau asinan sayuran.

Penelitian lain menunjukan bahwa minyak cengkeh dapat digunakan sebagai bahan aktif dalam antiseptic ruangan dalam bentuk spray. Dalam bentuk tunggal maupun sebagai campuran dalam formula cairan antiseptik dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella hypemerium dan E. coli.

Berdasarkan hasil penelitian di Balittro (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat), produk cengkeh berupa daun, gagang bunga, minyak cengkeh dan eugenol dapat menekan bahkan mematikan pertumbuhan miselium jamur, koloni bakteri dan nematoda. Karena itu produk cengkeh dapat digunakan sebagai fungisida, bakterisida, nematisida dan insektisida. Sebagai fungisida cukup potensial terutama untuk jenis patogen tanah antara lain P. capsici, R. lignosus, Sclerotium sp dan F. oxysporum. Sebagai antibiotic bakterisida eugenol dilaporkan sangat efektif secara in – vitro terhadap beberapa bakteri antara lain : Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus dan Escherisia coli. Sebagai nematisida minyak cengkeh dan eugenol berpengaruh terhadap Melodogyne incognita dan Rodopolus similis dalam konsenterasi yang tinggi yaitu 1 – 10%. Sebagai insektisida eugenol pada konsenterasi 10% dapat menyebabkan A. fasiculatus tidak menghasilkan keturunan (Asman et al .,1997)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous a. 2007. Lengkuas Pengganti Formailin.  http://rempahspice.wordpress.com/

Anonymous. 2004. Garlic A(llium sativum). Diakses dari http://www.

Dietsite.com/dt/alternativenutrition/Herbs/garlic.asp. akses tanggal 29 Maret 2010

Asman, A. M. Tombe dan D. Manohara, 1997. Peluang produk cengkeh sebagai

pestisida nabati. Monograf Tanaman Cengkeh. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal 90 – 102.

Astawan, made. 2010. Makan Rendang Dapat Protein dan Mineral. http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_ntrtnhlth_rendang.php

Elistina, M. D., 2005, Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Dari Daun

Sirih (Piper betle L), Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA,

Harborne. 1996. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan Kedua. Terjemahan : K. Padmawinata dan I. Soediro. Bandung : Penerbit ITB

Heyne K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia II, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta

Pamungkas, Ratih Nila. 2010. jurnal : Pemanfaatan Lengkuas Sebagai pengganti Formalin. Universitas Negeri Malang

Parwata, Oka Adi dan F. Fanny Sastra Dewi. Jurnal : Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri dari Rimpang Lengkuas. Jurusan Kimia FMIPA. Universitas Udayana

Rahayu, Winiati Pudji. 2000. Pustaka Pangan. http://www.iptek.net.id/ind/pustaka_pangan/index.php

Robinson, T., 1991, Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, a.b. Kosasih

Padmawinata, ITB, Bandung, h.132-136

Yamada, Y and K.Azama. 1977. Antimicrobe. Agents Chemotheraphy., 743 : 1. Diakses dari http://www.sirisimpex.com/garlic.html. akses tanggal 29 Maret 2010

”VEGETARIAN DIET”

August 23, 2010

oleh : FAISAL AGGY

  1. LATAR BELAKANG

Kemajuan teknologi berdampak di bidang penyediaan pangan. Dewasa ini terdapat berbagai variasi makanan yang dapat dipilih manusia untuk mengenyangkan perutnya. Namun seiring dengan kemajuan kuantitas produksi pangan tersebut, masyarakat juga semakin kritis tentang kualitas bahan makanan yang dipilih untuk dikonsumsi. Hal ini tentunya menunjukkan perhatian yang semakin besar dari masyarakat akan masalah kesehatan. Jadi jika dulu makan bertujuan sebagai sumber energi untuk menunjang aktivitas, maka kini makan sudah menjadi suatu bentuk gaya hidup sehat bagi sebagian masyarakat. Pengaturan pola makan sudah bukan rahasia lagi sebagai salah satu kunci terpenting untuk menjamin kesehatan pribadi. Oleh karena itu, tidaklah heran jika saat ini semakin banyak ditemukan berbagai konsep alternatif tentang healthy food misalnya berupa diet berdasarkan golongan darah, jus kombinasi, makanan organik, herbal dan juga diet vegetarian.

Dari sejarahnya, kaum vegetarian diduga sudah ada sejak jaman Mesir Kuno. Saat itu dikenal suatu kelompok kecil warga yang hanya gemar menyantap makanan berupa sayuran dan buah-buahan. Vegetarian semakin dikenal luas setelah beberapa aliran keagamaan di Asia Timur mengajarkan tidak menyembelih hewan untuk dimakan dengan berbagai alasan contohnya adanya kepercayaan bahwa dengan menyembelih hewan maka seseorang kelak akan bereinkarnasi menjadi makhluk tingkatan paling rendah. Selain itu kaum Buddist di Jepang percaya bahwa dengan memakan daging hewan maka tubuh mereka akan mengandung racun yang baru akan hilang setelah 8 hari.

Pada dasarnya, vegetarian adalah individu yang tidak makan semua jenis daging. Istilah yang digunakan untuk menentukan diet vegetarian yang berbeda tergantung pada produk hewan apa yang termasuk dalam makanan. Oleh karena itu, vegan, atau murni atau vegetarian yang ketat, tidak termasuk produk yang berasal dari hewan. Meliputi lacto-vegetarian produk susu di / nya dietnya dan ovolactovegetarians termasuk telur dan produk susu. Bijian, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, kacang-kacangan dan biji adalah dasar diet vegetarian, dengan jumlah variabel produk susu, dengan atau tanpa telur (Couceiro. 2008).

(Anonymous A, 2010)

Istilah vegetarian diet digunakan untuk mendeskripsikan berbagai pola makan. Meskipun ada beberapa vegetarian menggambarkan diri yang mengkonsumsi sejumlah kecil daging hewan, umumnya diterima bahwa diet vegetarian tidak termasuk semua jenis daging, unggas, ikan atau makanan laut (Pagano, 2007).

Diet vegetarian berbeda secara luas pada sejauh mana produk binatang dikecualikan. A lacto-ovo-vegetarian diet yang paling populer  didasarkan pada biji-bijian, sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian, kacang-kacangan, produk susu dan telur, tetapi tidak mengandung daging, ikan atau unggas. A vegan diet, yang mirip dengan lacto-ovo-vegetarian makanan tetapi juga termasuk produk susu, telur dan produk binatang lainnya. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 1: (Pagano, 2007)

Type of Diet Restricted Foods Potential nutrients of concern
Vegetarian Meat, poultry, fish/seafood Iron

Zinc

Omega 3 Fatty acid

Protein

Lacto – vegetarian Meat, poultry, fish/seafood, eggs Iron

Zinc

Omega 3 Fatty acid

Protein

Ovo – vegetarian Meat, poultry, fish/seafood, dairy products Calsium

Iron

Zinc

Vitamin B12

Vitamin D

Omega 3 Fatty acid

Protein

Vegan All animal products including Meat, poultry, fish/seafood, eggs, dairy products Calsium

Iron

Zinc

Vitamin B12

Vitamin D

Omega 3 Fatty acid

Protein

Vegetarian memiliki asupan tinggi sayuran, buah-buahan, sereal, kacang-kacangan dan kacang-kacangan, selain fakta bahwa diet ini menyajikan kandungan lemak jenuh dan mengandung relatif lebih tinggi dari lemak tak jenuh, karbohidrat dan serat (Couceiro. 2008).

Penghilangan daging, unggas, ikan dan makanan laut berarti hilangnya sumber utama protein, besi, seng, omega-3 asam lemak dan vitamin B12 A dan. Menghindari produk susu dan telur menghapus sumber protein lainnya serta kalsium dan vitamin D. kekurangan gizi, seperti di diet, adalah risiko. Vegetarian diet biasanya mengandung lebih sedikit lemak jenuh, kolesterol dan protein hewani dan lebih banyak serat, magnesium, folat, vitamin C dan E, karotenoid dan fitonutrien antioksidan lainnya. Namun Pernyataan posisi dari American Dietetic Association menyatakan bahwa “diet vegetarian yang direncanakan dengan tepat sehat, gizi yang memadai, dan memberikan manfaat kesehatan dalam pencegahan dan pengobatan penyakit tertentu” (Couceiro. 2008).

2.       KOMPOSISI NUTRISI

2.1 Protein

Tidak seperti daging (misalnya, daging sapi) dan hewan lainnya makanan yang menyediakan “lengkap” protein, beberapa protein tanaman “tidak lengkap” atau kurang dalam jumlah yang cukup dari satu atau lebih penting asam amino (Young, 1994). Namun, jika berbagai makanan nabati dikonsumsi selama sehari, maka jumlah asam amino esensial dapat dipenuhi. Vegetarian diet biasanya lebih rendah di protein dibandingkan diet omnivora, tetapi vegetarian pada umumnya mengkonsumsi jumlah protein yang disarankan protein (Anonymous b, 2000).

2.2 Besi

Status besi dapat mempengaruhi dalam vegetarian karena jumlah yang lebih rendah dan ketersediaan hayati besi dalam makanan mereka (1,31). Besi dalam makanan adalah hadir dalam dua bentuk – besi heme pada daging, unggas dan ikan dan besi hadir dalam varietas nonheme hewan dan makanan nabati. penyerap besi heme (misalnya, dalam daging sapi) adalah jauh lebih besar dibandingkan dengan besi nonheme dalam makanan nabati. komponen diet, seperti vitamin C, dapat meningkatkan non-heme penyerapan zat besi sedangkan phytates, tanin dan fosfat dalam makanan dapat menghambat penyerapan bentuk besi (Anonymous b, 2000).

Tanaman makanan mengandung besi nonheme, bentuk yang secara signifikan kurang bioavailable dari besi heme (ditemukan dalam sumber-sumber hewan). Nonheme besi juga lebih rentan terhadap inhibitor penyerapan termasuk phytates, kopi, teh, kalsium dan serat. Vitamin C dan asam organik yang ditemukan dalam buah-buahan dan sayuran, namun, dapat meningkatkan penyerapan zat besi nonheme, sehingga sangat bermanfaat makan buah-buahan dan sayuran seperti jeruk, paprika dan brokoli dengan sumber zat besi seperti vegetarian sebagai kacang, biji labu dan quinoa (Pagano, 2007).

2.3   Zinc dan Seng

Penyerapan Zinc ditingkatkan dengan protein hewani dan dihambat oleh phytates, yang tinggi dalam kacang-kacangan dan seluruh butir. eprihatinan ini, selain untuk menghilangkan makanan laut, ikan, daging dan unggas signifikan sumber seng), berarti bahwa seorang vegetarian yang beresiko kurang asupan gizi ini (Pagano, 2007).

Penurunan 35% dalam jumlah total seng diserap ditemukan pada wanita muda yang diet lacto-ovo-vegetarian dikonsumsi dibandingkan untuk diet nonvegetarian Penurunan ini dalam jumlah seng yang diserap telah dijelaskan dengan penurunan 21% dalam penyerapan seng efisiensi dan penurunan 14% dalam diet seng asupan yang terkait dengan diet vegetarian (Hunt, 1998). Untuk vegetarian, khususnya vegan, pertemuan rekomendasi untuk seng dapat menantang (Anonymous b, 2000).

2.4   Kalsium dan Vitamin D

Susu adalah makanan dengan konsentrasi tertinggi dan bioavailabilitas kalsium, diet vegetarian dipisahkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan mineral ini: mereka yang termasuk dan yang tidak termasuk susu dan produk susu dalam diet.

Bagi mereka yang mengikuti diet vegan, penghapusan produk susu tidak memiliki potensi untuk mengurangi asupan kalsium. Susu non-vegetarian sumber kalsium memang ada dan mencakup gelap, sayuran hijau, calciumset tahu, kacang, biji-bijian dan biji-bijian bebas gluten tertentu. Bahkan, berdaun hijau (kecuali mereka yang tinggi oksalat konten seperti bayam dan lobak Swiss) menyediakan kalsium dengan ketersediaan hayati lebih besar daripada kebanyakan lainnya sumber termasuk susu sapi.

Menurut Weaver et al (30),. Kalsium intaken oleh vegetarian yang mengambil susu dan produk susu biasanya sesuai. Vegan cenderung makan 500-700 mg kalsium per hari (rekomendasi harian adalah 1.000 mg). konseling gizi, termasuk lebih banyak makanan dengan bioavailabilitas kalsium yang baik dan mereka dengan asam oksalat rendah, dapat memperbaiki perbedaan ini.

Jika tidak dapat melakukannya dengan makanan, kemudian suplementasi, baik melalui makanan yang diperkaya atau suplemen kalsium, mungkin necessary.Sunlight eksposur dapat menyediakan sintesis yang memadai vitamin D dalam kondisi tertentu, tetapi sinar matahari  tidak dapat diandalkan selama bulan-bulan musim dingin, terutama di utara lintang (3). Faktor lain, seperti warna kulit, asap dan menggunakan tabir surya, juga dapat mempengaruhi kecukupan paparan sinar matahari untuk memberikan vitamin D. Studi telah menunjukkan kadar vitamin D rendah dan massa tulang berkurang di beberapa vegan, yang tidak menggunakan makanan yang diperkaya atau suplemen, tinggal di lintang utara (Pagano, 2007).

2.5 Vitamin B

Pabrik makanan, termasuk tempe, miso dan sayuran laut, tidak menyediakan sumber terpercaya konsisten atau aktif vitamin B12 (cyanocobalamin). Untuk lactoovo vegetarian, adalah mungkin untuk memenuhi vitamin seseorang B12 kebutuhan melalui asupan teratur dan memadai dari susu produk dan telur. Vegan, bagaimanapun, harus menggunakan salah satu dibentengi makanan atau suplemen untuk mencegah defisiensi B12.

2.6 Omega 3

Vegetarian harus mengkonsumsi sejumlah besar asam lemak omega-3 karena harus dialihkan dalam asam eicosapentaenoic (EPA) dan asam docosaexanoic (DHA), bentuk-bentuk yang sudah ada pada makanan hewani. Sebagai konversi dari asam lemak yang rendah dalam diri manusia, asupan yang harus dioptimalkan (Rosell, 2005).

Nutrisi lain tidak cenderung menjadi masalah dalam makanan vegetarian. Sebuah studi yang dilakukan di Britania Raya dengan 33.883 31.546 omnivora dan vegetarian individu menemukan bahwa, bila dibandingkan dengan omnivora, vegetarian cenderung makan lebih sedikit kalori tetapi dengan sama, atau bahkan meningkat, asupan mikro, yang mencerminkan pilihan makanan yang kaya nutrisi konten (Davey, 2003).

3.     PRINSIP DIET

Pola makan dari vegetarian menyajikan variasi. Diet dari ovolactovegetarians didasarkan pada biji-bijian, kacang-kacangan, sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan produk susu, dan telur sementara itu termasuk daging sapi, ikan dan unggas. Pola makan dari vegetarian ketat mirip dengan ovolactovegetarians kecuali untuk pengecualian tambahan telur, produk susu dan makanan lainnya yang berasal dari hewan. Dalam pola masing-masing, mungkin ada variasi berkaitan dengan tingkat di mana produk-produk hewani dikecualikan. Oleh karena itu, pendekatan individu yang diperlukan untuk secara akurat menilai kualitas gizi dari asupan makanan dari seorang vegetarian (Messina, 1997).

Namun, ada satu kelompok individu baru yang disebut semi-vegetarian oleh beberapa penulis. Menurut Fraser (11), semi-vegetarian adalah mereka yang makan ikan dan daging kurang dari sekali seminggu.

Menurut The American Dietetic Association (ADA) (), diet vegetarian didefinisikan sebagai salah satu yang tidak termasuk daging, ikan dan makanan laut. Posisi ADA adalah bahwa ketika direncanakan dengan baik, diet vegetarian adalah kesehatan dan gizi sesuai, membawa manfaat bagi pencegahan dan pengobatan penyakit tertentu.

Panduan makanan pertama dikembangkan oleh Amerika Serikat Departemen Pertanian (USDA) tahun 1916, namun hal itu tidak termasuk informasi yang cukup untuk merencanakan diet vegetarian (Messina, 2003).

Selama beberapa dekade, alat-alat lainnya untuk menyusun makanan terutama untuk vegetarian telah dikembangkan. Salah satu alat ini adalah panduan vegetarian, yang mulai dikembangkan oleh Loma Linda University pada tahun 1995 oleh sekelompok ilmuwan, dosen, dan dokter, yang harus mewakili tradisi vegetarian beragam dan praktek. Piramid ini telah digunakan oleh sejumlah besar ovolactovegetarians, meskipun tidak sering termasuk rekomendasi pada frekuensi. Menurut penulis yang sama, beberapa fakta memberikan kontribusi bagi pengembangan panduan makanan vegetarian: ketika direncanakan dengan baik, diet vegetarian meningkatkan pertumbuhan yang memadai dan pengembangan dan memenuhi kebutuhan gizi individu yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous a. 2010. The vegetarian Food – Pyramid. http://www.vegetariannutrition.org/food-pyramid.pdf

Anonymous b. 2000. Beef/Meat-Containing vs. Vegetarian Diets & Health. http://www.beefnutrition.org/uDocs/ACF3A.pdf

Anonymous c. 2008. The Vegetarian Diet. http://medicalcenter.osu.edu/PatientEd/Materials/PDFDocs/nut-diet/nut- other/vegetar.pdf

Couceiro, Patricia et all. 2008. Eating pattern of vegetarian diet. http://apps.einstein.br/revista/arquivos/PDF/518-Einsteinv6n3p365-73.pdf

Davey GK, et all. 2003. EPIC-Oxford: lifestyle   characteristics and            nutrient         intakes in a cohort of 33 883 meat-eaters and 31 546 non            meat-eaters in         the UK. Public         Health

Fraser GE. 1999. Associations between diet and cancer, ischemic heart           disease,        and all-cause             mortality in non-Hispanic white             California Seventh-day     Adventists. Am J Clin

Hunt JR. 2002. Moving toward a plant-based diet: are iron and zinc at risk?

Messina V, Melina V, Mangels AR. 2003. A new food guide for North         American      vegetarians. Can J Diet Pract Res

Pagano, Amy E. 2007. The Gluteen – Free Vegetarian. http://hsc.virginia.edu/internet/digestivehealth/nutritionarticles/pracgastrom ay2007.pdf

Rosell MS, et all. 2005. Long-chain n-3   polyunsaturated fatty acids in    plasma in      British meat-eating, vegetarian, and vegan men. Am J        Clin

Weaver CM, Proulx WR, Heaney R. 1999. Choices for achieving adequate                       dietary calcium with a             vegetarian diet. Am J Clin Nutr.

Young VR, Pellett PL. 1994. Plant proteins in relation to human protein and       amino acid nutrition.             Am J Clin Nutr.

analisis protein

October 20, 2009

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Elektroforesis merupakan suatu proses bergeraknya molekul yang bermuatan didalam suatu medan listrik dimana molekul yang bergerak ini tergantung pada muatan yang dimiliki, bentuk dan ukurannya. Sehingga dengan elektroforesis ini dapat digunakan untuk separasi makromolekul seperti asam nukleat dan protein. Protein merupakan molekul penyusun tubuh kita yang terbesar setelah air. Hal ini mengindikasikan pentingnya protein dalam menopang seluruh proses kehidupan dalam tubuh. Pada kenyataannya, kode genetik yang tersimpan dalam rantaian DNA digunakan untuk membuat protein, kapan, dimana dan seberapa banyak. Didalam tubuh, protein ini berfungsi sebagai penyimpan dan pengantar seperti hemoglobin yang memberikan warna merah pada sel darah merah, bertugas mengikat oksigen dan membawanya ke bagian tubuh yang memerlukannya. Selain itu juga menjadi penyusun sel dalam tubuh, seperti keratin di rambut yang banyak mengandung asam amino cysteine sehingga menyebabkan bau yang khas bila rambut terbakar karena banyaknya kandungan atom sulfur di dalamnya (Sudarmanto, 2008). Melalui metode elektroforesis ini maka dapat dilakukan separasi protein sebagai tahapan awal untuk mendapatkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut sehingga praktikum ini perlu untuk dilakukan.

1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari Praktikum SDS PAGE ini yaitu untuk mengetahui metode yang tepat untuk melalukan separasi protein sampel yang telah diisolasi dari praktikum sebelumnya.

1.3 Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui dan memahami metode SDS PAGE yang tepat sehingga nantinya dapat dianalisis sesuai kebutuhan dalam penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Protein
Protein merupakan molekul penyusun tubuh kita yang terbesar setelah air. Hal ini mengindikasikan pentingnya protein dalam menopang seluruh proses kehidupan dalam tubuh. Pada kenyataannya, kode genetik yang tersimpan dalam rantaian DNA digunakan untuk membuat protein, kapan, dimana dan seberapa banyak. Protein berfungsi sebagai penyimpan dan pengantar seperti hemoglobin yang memberikan warna merah pada sel darah merah, bertugas mengikat oksigen dan membawanya ke bagian tubuh yang memerlukannya. Selain itu juga menjadi penyusun sel dalam tubuh, seperti keratin di rambut yang banyak mengandung asam amino Cysteine sehingga menyebabkan bau yang khas bila rambut terbakar karena banyaknya kandungan atom sulfur di dalamnya. Enzim merupakan salah satu jenis dari protein yang berfungsi sebagai katalis alam tubuh. Dengan adanya enzim, organisme dapat hidup dengan baik. Enzim memiliki beberapa kelebihan terhadap katalisator non-biologis pada kecepatan reaksi serta spesifikasi terhadap substrat yang tinggi (Sudarmanto, 2008).
Protein memiliki fungsi banyak fungsi bagi tubuh, diantaranya yaitu sebagai katalis biokimia seperti enzim; sebagai struktur seperti kolagen yang merupakan komponen penting pada tulang dan tendon; sebagai pergerakan, contohnya aktin dan myosi; sebagai transport seperti hemoglobin yang membawa oksigen dalam aliran darah dan serum albumin yang membawa asam lemak; sebagai zat pengatur, contohnya hormon insulin yang mengontrol gula darah dan sitokin seperti interleukin yang mengatur pembelahan sel dan diferensiasi; sebagai proteksi, contohnya antibodi dan protein yang telibat dalam pembekuan darah; sebagai penyimpanan, contohnya feritin yang menyimpan besi dalam darah dan gliadin yang menyimpan asam amino dalam biji gandum dorman (WordPress, 2009).

2.2 SDS PAGE
Sodium dodecyl sulfat atau disebut juga SDS merupakan detergen yang dapat memecah molekul hidrofobik tetapi juga memiliki muatan negatif yang dihubungkan dengan hal tersebut. Oleh karena itu jika sel diinkubasi dengan SDS maka membran akan dihancurkan dan seluruh protein akan soluablized oleh detergen dan seluruh protein akan dilindungi dengan banyak muatan negatif seperti pada gambar 1. yang menghasilkan dua hal penting yaitu seluruh protein akan dalam struktur primer dan seluruh protein memiliki muatan negatif yang banyak (Davidson, 2001).

Gambar 1. Cara kerja SDS (Davidson, 2001)

Polyacrylamide gel electrophoresis atau disingkat PAGE ini merupakan suatu kemungkinan dari teknik analisis yang digunakan untuk separasi dan karakterisasi protein yang banyak digunakan. Solution dari acrylamide dan bisacrylamide merupakan polymerisasi. Bisacrylamide dimasukkan secara crosslinks diantara rantai polyacrilamide. Ukuran porinya ditentukan berdasarkan rasio dari acrilamide untuk bisacrylamid, dan oleh konsentrasi acrilamid. Tinggi rasio dari bisacrilamid pada acrilamid dan tinggi konsentrasi acrilamid menyebabkan mobilitas elektroforesis menjadi pelan. Polimerisasi dari akrilamid dan monomer bisakrilamid merupakan induksi oleh ammonium persulfat (APS) (Williams, 2001).
SDS ini merupakan detergen yang ampipatik yang berikatan nonkovalen dengan protein, dengan stoikiometri dari sekitar satu molekul SDS tiap dua asam amino. SDS ini menyebabkan protein terdenaturasi dan disassociate, dengan keberadaan SDS, muatan dari protein tersembunyi. Selama SDS PAGE berlangsung, seluruh protein bergerak menuju anoda yang bermuatan positif (Williams, 2001).

Gambar 2. Gel Elektroforesis (Williams, 2001)

Gambar 3. Metode Gel Elektroforesis Protein (Molekular station, 2008).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum dengan judul SDS PAGE dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya pada tanggal 07 Mei 2009.

3.2 SDS PAGE
3.2.1 Separating Gel 12,5%
Dalam separating gel ini yang dilakukan yaitu dengan memasukkan bahan-bahan kedalam tabung falkon 50 ml secara berurutan. Bahan yang digunakan yaitu stok akrilamid 30% sebanyak 3,125 ml, 1M tris pH 8,8 sebanyak 2,75 ml, 1,505 ml aquades, 100 µl SDS 10%, dan 100 µl APS 10%. Setelah itu larutan dituang dalam plate sampai tanda batas. Setelah gel sedikit memadat dengan membandingkan pada sisa gel yang ada. Setelah sedikit memadat ditambahkan aquades secukupnya diatas gel tersebut. Dibiarkan gel hingga memadat sempurna, selanjutnya aquades diserap dengan tisu.

3.2.2 Stacking Gel 5%
Dalam membuat stacking gel ini, semua bahan dicampur dalam falkon 50 ml secara berurutan, bahan yang digunakan yaitu 0,45 ml akrilamid-bis 30%, 0,38 ml 1M Tris pH 6,8, 2,11 ml aquades, 40 µl SDS 10%, 30 µl APS 10%, dan 5 µl TEMED. Setelah itu larutan dituang diatas separating gel yang telah memadat. Kemudian sisir dipasang pada stacking gel dan dibiarkan hingga memadat sempurna. Setelah padat, lepaskan sisir dan rapikan sumuran yang terbentuk dengan jarum dari spuilt.

3.2.3 Preparasi Gel
Sampel yang telah diencerkan ditambah RSB dengan perbandingan 1:1 kemudian dipanaskan pada suhu 1000C selama 5 menit.

3.2.4 Running Gel
Plate yang berisi separating dan stacking gel dilepas karet pengamannya kemudian plate berisi gel tersebut dimasukkan dalam chamber elektroforesis. Selanjutnya dituang running buffer hingga bagian atas dan bawah gel terendam larutan. Selanjutnya sampel yang telah disiapkan dimasukkan dalam sumuran sesuai peta sumuran yang telah dibuat. Untuk memulai running, perangkat elektroforesis dihubungkan dengan power supply, selanjutnya running dilakukan pada arus 30 mA selama 3-4 jam atau sampai tracking dye mencapai jarak 0,5 cm dari dasar gel. Setelah selesai matikan listrik dan buang running buffer dan ambil gel dari plate.

3.2.5 Pewarnaan
Dalam proses ini, hal pertama yang dilakukan yaitu dengan merendam gel dalam larutan staining sambil digoyang selama 15 menit. Setelah 15 menit buang larutan staining dan cuci gel dengan aquades beberapa kali hingga bersih. Selanjutnya gel direndam dalam larutan destaining selama 30 menit atau hingga band terlihat sambil digoyang, saat perendaman ini, gel dilapisi dengan kertas saring. Selanjutnya gel dicuci dengan aquades beberapa kali hingga bersih.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisa Prosedur
Pada praktikum ini dilakukan pembuatan dua jenis gel berbeda, yaitu separating gel dan stacking gel. Separating gel ini berfungsi untuk memisahkan atau menseparasi protein berdasarkan berat molekulnya, bahan yang digunakan dalam praktikum yaitu akrilamid 30% sebagai bahan untuk membentuk pori-pori dalam gel agar protein dapat terpisah berdasarkan ukurannya, 1M Tris pH 8,8 untuk menstabilkan pH buffer agar muatan dari protein tidak berubah, aquades digunakan sebagai pelarut polar dan sebagai media polar untuk aliran listrik dalam gel, SDS digunakan untuk memutuskan ikatan disulfida dari protein agar menjadi unfolding dan menyelubungi protein dengan muatan negatif, APS digunakan sebagai katalisator dalam polimerasi gel poliakrilamid, dan TEMED digunakan sebagai katalisator pembentukan radikal bebas dari ammonium persulfat dan sebagai pemadat sehingga pencampurannya dilakukan terakhir agar larutan tidak menjadi padat terlebih dahulu sebelum seluruh bahan tercampur. pH yang digunakan dalam separating gel yaitu 8,8 untuk mendapatkan pori-pori yang lebih kecil sehingga protein akan terseparasi dengan baik saat running. Larutan gel yang telah dibuat dimasukkan dalam plate untuk mencetak gel, lalu pemberian aquades diatas separating gel yang setengah padat bertujuan untuk membuat permukaan separating gel datar. Setelah padat aquades diserap agar dapat dilakukan proses selanjutnya yaitu penambahan stacking gel diatas separating gel. Gel kedua yaitu stacking gel yang berfungsi untuk tempat menata sampel protein sebelum proses running dimulai. Bahan yang digunakan dalam pembuatan stacking gel ini yaitu akrilamid-bis sebagai pembentuk pori-pori untuk memisahkan protein berdasarkan ukuran yang dimilikinya, Tris pH 6,8 untuk mempertahankan pH proein agar tidak berubah, aquades sebagai pengencer, pelarut, dan pemberi kondisi polar untuk melancarkan arus listrik, SDS digunakan untuk memutuskan ikatan disulfide protein agar menjadi unfolding dan dapat menyelubungi protein dengan muatan negatif, APS digunakan sebagai katalisator dalam polimerasi gel poliakrilamid, dan TEMED digunakan sebagai katalisator pembentukan radikal bebas dari ammonium persulfat dan sebagai pemadat sehingga pencampurannya dilakukan terakhir agar larutan tidak menjadi padat terlebih dahulu sebelum seluruh bahan tercampur. Setelah seluruh bahan dicampur kemudian dituang diatas separating gel yang telah memadat untuk membuat satu rangkaian gel poliakrilamid yang dapat digunakan untuk SDS PAGE. Sisir dipasang untuk mencetak sumuran tempat sampel dimasukkan dalam gel.
pH yang digunakan dalam separating gel yaitu 8,8 agar didapatkan protein tetap dalam keadaan muatan negatif. pH stacking gel yang dibuat yaitu 6,8 agar kondisi pH dari stacking gel berada di bawah isoelektrik protein (pH 8) sehingga protein akan tersusun secara berjajar pada bagian bawah dari stacking gel (Janson, 1998).
Dalam preparasi sampel digunakan penambahan Reducing Sample Buffer atau RSB dengan perbandingan 1:1 karena RSB ini mampu memutus ikatan disulfida protein sehingga didapatkan protein dalam bentuk linier yang nantinya akan memudahkan separasi protein tersebut dalam gel saat running. Didalam RSB terdapat kandungan 1M Tris-Cl pH 6,8 untuk menjaga kondisi pH dari sampel protein, gliserol 50% berfungsi untuk menambah berat sampel sehingga mudah turun, SDS 10% berfungsi sebagai agen pereduksi yang memutuskan ikatan disulfida sehingga protein berbentuk linier dan member muatan negatif pada protein, fungsi pembentukan muatan negatif ini untuk memudahkan separasi menuju kutub positif saat dilewatkan arus (Janson, 1998). Kandungan yang lain yaitu terdapat 2-merkaptoethanol yang berfungsi untuk membantu reaksi SDS dalam memecah ikatan disulfida dari protein, dan bromophenol Blue 1% sebagai penanda atau sebagai tracking dye yang memudahkan dalam mengamati pergerakan protein saat running (janson, 1998). Tetapi RSB yang digunaka dalam sampel tanaman sedikit berbeda dari sampel non tanaman, yaitu pada RSB untuk tanaman perlu ditambahkan DTT dan EDTA. Penambahan DTT ini untuk memecah ikatan disulfide dengan mendegradasi ikatan alifatik disulfide menjadi rantai polipeptida tunggal. Pada tanaman banyak terdapat jenis metabolit sekunder, sehingga untuk memaksimalkan pemecahan disulfida yang dilakukan oleh SDS dan 2-merkaptoethanol diperlukan penambahan DTT dan EDTA (Janson, 1998). Setelah penambahan RSB, sampel protein dipanaskan pada suhu 1000C bertujuan untuk mengoptimalkan pendenaturasian protein.
Running yang dilakukan pada praktikum digunakan arus 30 mA selama 3-4 jam untuk mendapatkan hasil yang baik karena digunakan arus yang lebih kecil sehingga protein dapat terseparasi dengan baik. Running ini dilakukan untuk menseparasi protein berdasarkan berat molekul yang dimilikinya. Running buffer dengan pH 8,3 untuk menjaga kondisi fisiologis dari protein dan gel agar tetap bermuatan negatif karena berada diatas titik isoelektrik. Bagian atas dan bawah gel harus terendam running buffer karena system yang digunakan dalam elektroforesis yaitu wet sistem dan digunakan arus listrik, jika salah satu bagiannya tidak terendam maka arus listrik tidak dapat mengalir. Setelah running selesai, yang selanjutnya digunakan untuk analisis hanya separating gelnya saja sedangkan stacking gelnya dibuang karena band-band protein hanya terdapat pada separating gel saja.
Langkah selanjutnya yaitu staining atau pewarnaan. Pewarnaan ini perlu untuk dilakukan untuk membantu dalam pengamatan band protein yang terseparasi. Larutan staining yang digunakan dalam praktikum ini yaitu CBB R-250 (Coomasie Brilliant Blue), CBB ini sensitif terhadap protein yang memiliki ukuran yang beriksar antara 0,5 hingga 20 mikrogram (Heidsamp, 2008). Penggoyangan perlu dilakukan untuk megoptimalkan reaksi staining yang dilakukan oleh CBB. Pencucian dengan aquades berfungsi untuk membilas dan menghilangkan CBB yang mungkin masih tersisa pada gel. Selanjutnya dilakukan perendaman pada larutan destaining untuk menghilangkan CBB yang tersisa dan memperjelas band protein yang terbentuk serta untuk menghilangkan CBB yang tidak berada pada band protein. Pemberian kertas saring saat perendaman pada larutan destaining bertujuan untuk memaksimalkan pembersihan larutan CBB. Setelah itu dilakukan pencucian lagi dengan aquades untuk menghilangkan sisa larutan destaining dan menghentikan pewarnaan yang dilakukan oleh larutan destaining. Selanjutnya gel dapat discan untuk mendapatkan visualisasi lebih baik untuk analisis selanjutnya.

4.2 Analisa Hasil
Kelemahan yang dimiliki dari staining menggunakan CBB ini antara lain yaitu CBB tidak dapat mewarnai protein yang mimiliki ukuran yang sangat kecil, dalam proses pewarnaan yang dilakukan memerlukan waktu yang lebih lama, bahan penyusun larutan stainingnya mudah menguap dan bersifat asam sehingga diperlukan penanganan tersendiri untuk membuat larutan staining ini. Selain kelemahan, kelebihan yang dimiliki oleh larutan staining CBB ini yaitu bahan yang digunakan tergolong murah dan mudah didapatkan dan lebih mudah dalam menghilangkan sisa-sisa pewarnanya (Janson, 1998). Jenis larutan staining lain yang dapat digunakan yaitu Colloidal Coomasie Brilliant Blue (G-250) yang mampu mewarnai protein yang berukuran hingga 30 ng dan sesuai dengan masa untuk analisis spektofotometri, Blue Silver (CoomasieG-250) yang mampu mewarnai protein yang berukuran 1-5 ng, dan kompatibel terhadap mass spektrofotometri (Missouri University, 2002).

14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Gambar 4 Hasil running bebrapa sampel protein dengan SDS PAGE yang telah diwarnai dengan CBB

Keterangan :
1. RSB
2. Marker
3. Ikan (non presipitasi)
4. Bayam (non presipitasi)
5. Hepar (non presipitasi)
6. E.coli kel 5 (non presipitasi)
7. E.coli kel 6 (non presipitasi)
8. Ikan (presipitasi)
9. Bayam (presipitasi)
10. Hepar (presipitasi)
11. E.coli kel 5 (presipitasi)
12. E.coli kel 6 (presipitasi)
13. Serum (presipitasi)

Gambar 5. Kurva standar Berat Molekul

Tabel 1. Tabel Kurva standar Berat Molekul
a b Rf BM Log BM
0,5 5,4 0,092593 116 2,064458
1,7 5,4 0,314815 66,2 1,820858
2 5,4 0,37037 45 1,653213
2,5 5,4 0,462963 35 1,544068
3,5 5,4 0,648148 25 1,39794
4,5 5,4 0,833333 18,4 1,264818
5,5 5,4 1,018519 14,4 1,158362

Hasil pembuatan kurva standar berat molekul protein dapat digunakan sebagai patokan dalam pengukuran berat molekul protein sampel, didapatkan persamaan linier y = – 0,145x + 2,141 dengan nilai R2 = 0.983. Berdasarkan R yang didapat dari persamaan dengan nilai mendekati 1 maka kurva tersebut dapat dijadikan standar baku penentuan berat molekul suatu sampel protein. Dengan menghitung nilai Rf menggunakan persamaan tersebut akan diperoleh berat molekul tiap sampel protein yang digunakan dalam praktikum. Sampel pada praktikum memiliki Berat molekul yang berbeda-beda, hanya pada sampel hepar hasil presipitasi dan non presipitasi yang mendekati dengan protein marker yaitu β-galactosidase. Sedangkan sampel protein lain memiliki berat molekul yang jauh dari berat molekul marker. Jumlah protein terbanyak juga dimiliki oleh sampel hepar baik itu hasil presipitasi atau non presipitasi, jumlah protein yang terdapat tiap sampel berbeda-beda tergantung dari kadar protein yang terkandung oleh tiap sampel dan juga teknik isolasi protein yang dilakukan. Keberadaan jenis protein yang terdapat pada sampel dilihat dari band protein yang muncul dari gel, Nampak pada gel terdapat pita yang tebal dan tipis yang dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran dari protein-protein tersebut, selain itu juga dapat diakibatkan adanya smear. Band protein nampak dari sampel protein yang berasal dari presipitasi dan non presipitasi menunjukkan perbedaan cukup signifikan, pada sampel protein non presipitasi memiliki jenis protein yang lebih banyak dari pada protein hasil presipitasi, hal ini karena protein hasil presipitasi berupa protein-protein yang spesifik akibat adanya presipitasi jadi hanya protein tertentu saja yang masih terdapat didalam sampel yang dapat dianalisis, sedangkan protein non presipitasi yang masih berupa protein campuran sehingga band protein yang nampak juga lebih banyak.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari praktikum kali ini yaitu metode yang tepat dalam melakukan separasi protein dengan teknik SDS PAGE yaitu dilakukan pada gel poliakrilamid yang kemudian dilakukan visualisasi dengan larutan staining CBB. Hasil pengukuran kadar protein pada protein didapatkan sampel hepar memiliki kadar protein tertinggi, sampel protein hasil presipitasi memiliki jenis protein yang lebih sedikit daripada protein non presipitasi. Jenis protein yang ditemukan dalam praktikum yaitu β-galactosidase dengan berat molekul yang berkisar sekitar 116,0 kDa yang terdapat pada sampel hepar hasil presipitasi dan non presipitasi.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan guna perbaikan praktikum dan menjadikan praktikum selanjutnya lebih baik adalah agar diperhatikan urutan metode yang ada dan ketepatan mengambil larutan sehingga hasil dan data yang diperoleh lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Davidson. 2001. SDS PAGE. http://www.bio.davidson.edu/ COURSES/GENOMICS/method/SDSPAGE/SDSPAGE.html. Diakses tanggal 04 Mei 2009.
Janson, J.C, L.Ryden. 1998. Protein Purification Principles, High-Resolution Methods and Applications. Second Edition. John Wiley & Sons, Inc. Canada
Missouri University. 2002. Acrylamide gel protein detection methods. http://proteomics.missouri.edu/protocols/protein Detection.html. Diakses tanggal 24 Mei 2009.
Molekular station. 2008. Role of SDS in SDS-PAGE Gel Electrophoresis. http://www.molecularstation.com/sds-page -gel -electrophoresis/. Diakses tanggal 04 Mei 2009.
Sudarmanto, Arie. 2008. Protein. http://ariebs.staff.ugm.ac.id. html. Diakses tanggal 05 April 2009.
Williams. 2001. SDS PAGE Gel Elektrophoresis. http://web. chemistry .gatech.edu/~williams/bCourse_Information/4581/techniques/gel_elect/page_protein.html. Diakses tanggal 04 Mei 2009.
Wordpress. 2009. Tertiary. http://uth3.files. wordpress. Com /2008/10/tertiary.jpg. Tanggal akses 5 April 2009.